Analisis Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Beberapa Wilayah di Indonesia : “PSBB Kenapa Jadi Ribet sih?”
OPINI

Analisis Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Beberapa Wilayah di Indonesia : “PSBB Kenapa Jadi Ribet sih?”

Selayang pandang PSBB

Status darurat Covid-19 saat ini pantas diberikan kepada Indonesia. Hal ini dikarenakan semakin melonjaknya jumlah kasus positif Covid-19 di beberapa wilayah di Indonesia. Bukan hanya itu, dilansir dari liputan6.com, Fatality rate atau presentase jumlah kasus meninggal yang disebabkan oleh pandemik ini di wilayah Indonesia tercatat menjadi ranking 1 se-Asia. Secara keseluruhan, Indonesia berada di ranking 2 dunia dengan persentase tingkat kematian 9,36 persen.[1] ntuk itu, berbagai upaya terus dikerahkan oleh pemerintah untuk mengurangi penularan penyakit ini. Salah satunya yaitu mulai diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta. Bukan hanya di wilayah Ibu Kota, kebijakan ini juga akan di terapkan di beberapa kabupaten/kota lain karena sudah disetujui oleh Kementerian Kesehatan. Beberapa wilayah tersebut seperti Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi.

PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaranya. Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Permenkes No 9 Tahun 2020 sebagai peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berbunyi:

Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19).”

PSBB dianggap sebagai upaya yang tepat untuk mengurangi penyebaran penyebaran penyakit ini. Hal ini karena dengan adanya PSBB berarti akan adanya pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian rupa. Kegiatan tertentu yang dimaksud adalah meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat umum, kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan kegiatan lain. PSBB berbeda dengan karantina wilayah atau lockdown yang istilahnya lebih populer di masyarakat. Dalam karantina wilayah, masyarakat sama sekali tidak diperbolehkan ke luar rumah.

Kriteria yang sangat birokratis

Pemberlakuan status PSBB di sebuah wilayah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kriteria yang harus dipenuhi pemerintah daerah sebelum menetapkan status PSBB di wilayahnya. Kriteria-kriteria tersebut menurut saya sangat birokratis karena rumitnya mengurus administrasi. Beberapa kriteria diantaranya; jumlah kasus atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah. Jumlah kasus tersebut harus dibuktikan dengan adanya data pemerintah daerah harus melaporkan data secara rinci mengenai jumlah kasus Covid-19 yang berada diwilayahnya. Hal ini menurut penulis cukup berbelit. Karena data diasumsikan ada di daerah. Dengan kata lain, Kemenkes tidak punya sistem pemantauan dan data sendiri. Seolah-olah ini masalah pemerintah daerah. Seharusnya, pemerintah pusat harus mempunyai basis data tersendiri guna mengontrol pemerintah-pemerintah daerah. Karena bagaimanapun data sangat mudah untuk dimanipulasi. Seharusnya, menurut saya, tidak perlu ada kriteria jumlah kasus minimal suatu daerah untuk bisa menerapkan PSBB di daerahnya. Karena akan semakin banyak korban dan akan mempersulit pemutusan rantai penyebaran covid-19. Jika PSBB dilakukan se-dini mungkin tanpa harus memenuhi kriteria tersebut, maka akan mempermudah pemutusan rantai penyebaran virus ini.

Kriteria selanjutnya yaitu daerah yang mengajukan penerapan PSBB, kasusnya harus terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2). Menurut saya, hal tersebut bukan perkara gampang diselesaikan dalam waktu dekat, sementara di sisi lain daya penyebaran Covid-19 sangat tinggi.

Ketentuan dalam pasal 4 ayat (4) juga akan sulit dipenuhi beberapa daerah. Di sana dijelaskan bahwa harus ada kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain sebagaimana tertulis dalam pasal 2 b. serta ditegaskan pula bahwa data transmisi lokal harus disertai dengan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga. Misalnya dalam suatu daerah terdapat banyak penduduk yang positif covid-19. Sebelum bisa menerapkan PSBB pemerintah daerah harus melakukan contact tracking terhadap masing-masing orang yang terjangkit. Jika menunggu proses tracking  selesai, tentunya itu akan sangat memakan waktu. Sementara penyebaran virus ini sangat cepat bahkan hingga lebih dari 200 kasus positif baru setiap harinya di Indonesia .

Kriteria selanjutnya yaitu pengajuan PSBB juga harus disertai informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan. Hal tersebut menurut saya tidak bisa dipukul rata di semua wilayah di Indonesia. Misalnya di wilayah pedalaman seprti papua. Fasilitas kesehatan di sana masih kurang memadai dikarenakan minimnya pendanaan untuk membangun serta penyediaan jasa pelayanan kesehatan. Selain itu, jika tanggung jawab pangan ada di daerah miskin, misalnya daerah yang memiliki APBD kecil tetapi dengan wilayah yang besar, pasti akan membebankan. Menurut saya, sebaiknya pemerintah pusat sebelum memberikan syarat, harus diimbangi dengan mobilisasi bantuan terlebih dahulu

Dampak PSBB

Terlepas dari rumitnya kriteria pemerintah pusat terhadap daerah yang ingin menerapkan PSBB, sebenarnya ada beberapa efek positf akibat pembatasan aktivitas warga tersebut diantaranya yang pertama dan merupakan tujuan utama diterapkannya kebijakan ini yaitu untuk meminimalisir penyebaran Covid 19. Hal ini dikarenakan dengan adanya PSBB akan mengurangi kontak fisik secara langsung antar warga. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, virus Covid 19 ini sangat mudah sekali penularannya, untuk itu kita dihimbau untuk tetap menjaga jarak dengan orang lain. Hal ini ditakutkan jika seorang yang ternyata positif Covid 19 melakukan kontak fisik dengan kita secara langsung atau berada dengan jarak yang sangat dekat akan dengan mudah menularkan virus tersebut melalui kegiatan seperti berjabat tangan, terkena cairan tubuh saat batuk dan bersin dan lain-lain. Dengan adanya PSBB ini setidaknya mengurangi kemungkinan tertularnya virus ini.

Selanjutnya dampak positif lain yaitu kualitas Udara di daerah Perkotaan lebih baik karena pembatasan tersebut. Adanya virus corona, membuat warga tetap berada di dalam rumah demi mencegah menyebarnya virus tersebut. dengan melakukan aktivitas di rumah, ini membuat kualitas udara di Indonesia lebih baik. Berdasarkan aplikasi pemantau udara IQ Air Visual menunjukkan peringkat Jakarta dalam polusi udara dengan nilai 42 dalam rentan 0 sampai 500 pada pukul 11.13 WIB per 2 April 2020.

Selain itu, bagi masyarakat perkotaan hal ini akan mempererat keakraban bersama keluarga karena dalam kehidupan sehari-hari mereka sibuk bekerja dan tidak ada waktu bersama keluarga. Bagi sebagian orang apalagi di kota-kota besar, selama ini segala kesibukan dan aktivitas di luar mungkin terasa lebih menyita waktu dibanding menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Namun, dengan pemberlakuan pembatasan fisik dan sosial saat ini tentunya kebersamaan dengan keluarga semakin intim. Makin seringnya berinteraksi, maka semakin akrab dengan karakter setiap anggota keluarga. Sesuatu yang sebelumnya mungkin amat jarang dilakukan kecuali di saat libur atau cuti.

Namun tak hanya dampak positif yang akan didapat jika diterapkannya PSBB, beberapa dampak negatif juga tak bisa dihindari, salah satu dan yang paling ikut terpengaruh yaitu Perputaran roda ekonomi akan berhenti sehingga pendapatan nasional akan menurun. Banyak orang-orang yang bekerja disektor wiraswasta seperti para pedagang khususnya pedagang kali lima akan sepi pembeli dikarenakan para pembeli akan sangat mengurangi kegiatannya diluar rumah. Bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dengan cara berjualan dengan cara tradisional, konsep work from home tentunya tidak relevan. Untuk itu, jika kebijakan PSBB resmi di berlakukan di beberapa wilayah, mereka akan kehilangan banyak penghasilan dan akan sangat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kemudian, jika PSBB ini diterapkan akan terjadi banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) berskala besar yang akan menimbulkan masalah baru seperti penjarahan sosial. Hal itu merupakan sebuah keniscayaan. Karena orang-orang korban PHK, otomatis akan kehilangan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentunya bagi sebagian orang yang mungkin kurang memiliki pendidikan, berbagai cara akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukan tidak mungkin mereka akan melakukan tindak criminal seperti pencurian dan perampokan.

Untuk itu, sebelum diterapkannya PSBB harus diperhatikan beberapa hal yang sudah dijelaskan diatas. Salah satunya yaitu pemerintah pusat seharusnya tidak memberikan kriteria yang memberatkan pemerintah daerah dengan sistem administrasi yang rumit. Hal tersebut akan memakan banyak waktu sementara penyebaran virus ini sagat tidak terkendali. Bisa saja dengan prosedur yang rumit, akan banyak korban yang berjatuhan sebelum diterapkannya PSBB ini. Selain itu, penerapan PSBB ini juga memiliki dampak. Salah satu dampak negatifnya, masyarakat akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, kembali peran pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi hal tersebut.

[1] https://www.liputan6.com/global/read/4218444/data-malaysia-sebut-tingkat-kematian-corona-covid-19-indonesia-nomor-2-di-dunia

[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200402114833-20-489506/imbas-darurat-corona-kualitas-udara-di-jakarta-membaik

Sumber gambar : Suara.com

Muhammad Taufiq Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya

Post Comment