Bernyanyi dan Menari sebagai Seni Protes
Image by www.thehindu.com
OPINI

Bernyanyi dan Menari sebagai Seni Protes

By: Abdul Jalil

Tak heran jika bangsa indonesia ini dikenal dengan bangsa bernari dan bernyanyi, karena music sangat mendominasi kebiasaan masyarakat sendiri. Budaya yang menjadi ciri khas, atau symbol pembeda dari komunitas lain, selalu ada peragaan atau kebiasaan menari dan bernyanyi. Sehingga pun tak sedikit kebiasaan yang telah membudaya tersebut mengalir pada generasi selanjutnya. Apalagi kini, kebiasaan bernari dan bernyanyi telah dijadikan salah satu jenjang karir untuk menghadapi masa depan.

Dan yang lebih mengherankan, saat ini kebiasaan bernari dan bernyanyi tersebut dikategorikan pada disiplin ilmu dalam lembaga pengembangan minat-bakat di setiap universitas maunpun sekolah. Dengan tujuan untuk meningkatkan dan membangun skill dan kemampuan anak didik dalam kedua bidang disiplin ilmu tersebut. Sesuai realita dan fakta yang terjadi pada UIN Sunan Ampel Surabaya, peminat UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Music lebih banyak dari pada unit-unit lain seperti olah raga, jurnalistik, maupun yang berbasis religious.

Secara logika, kedua aktifitas tersebut telah sangat membudaya dalam bangsa Indonesia, dan pula keduanya pun juga termasuk dalam kategori seni. Memang, pada dasarnya seni tidak hanya berbelit pada bernyanyi dan bernari saja. Melainkan masih banyak seni-seni lain yang masih melekat dan tetap dikonsumsi oleh masyarakat luas dengan jenis yang berbeda-beda. Seperti yang tak asing lagi untuk kita dengar; teater, musikalisasi puisi, drama, menggambar/lukis, hingga menulis pun saat ini tetap mengalir dalam dunia seni, meski tidak sepadat yang kita bayangkan.

Berdasarkan realita yang terjadi, dari zaman imperialis (kerajaan) hingga saat ini. Seni sering dijadikan salah satu wahana untuk menghilangkan kepenatan dan kegelisahan sesaat. Ada pula yang menggunakannya sebagai suatu ritual dari budaya setempat –biasanya ini sering digunakan oleh budaya yang masih kolot dan masih belum tersentuh modernisasi seperti dayak dan budayanya-.

Dan yang lebih menarik lagi, seni-seni yang telah melekat dalam diri seseorang, digunakan untuk sarana mencapai karir dan kesuksesan, diantara bernari dan bernyanyi. Dengan tersedianya panggung yang cantik dan megah, penonton yang bersorak di hadapan panggung dengan mengibarkan benderan akan simbol kekaguman pada sang idola, dan adanya penari dan penyanyi yang posisinya sebagai produsen dari industry kebahagiaan dan selebriti, dari situlah kebahagiaan semu dan jenjang karir tumbuh subur. Hingga tidak sedikit para pemilik modal memanfaatkan peristiwa tersebut sebagai jalur menuju pintu utama dalam meraih kesuksesan di dunia bisnis.

Sungguh sangat tidak etis sekali, seni yang pada awalnya merupakan suatu identitas dari pada budaya dan bangsa Indonesia. kini, semua harus terjual habis dalam dunia perbisnisan yang dimonitori oleh para pemilik modal. Indonesia, yang pula memiliki lagu kebangsaan dan slalu dikumandangkan setiap hari pahlawan, harus jatuh dan tergeserkan posisinya oleh para seni-seni lagu lain yang datang dari budaya asing, korea.

Tidak sedikit masyarakat kita yang terkena syndrome koreanisme ini. Dari segi pakaian, penampilan, sikap hingga pola pikirnya pun terasa telah terhegemoni oleh penyakit baru tersebut. Jika kita tarik penyakit koreanisme tersebut pada ranah budaya lokal, tentu idelismenya sangat berbenturan dan bersebrangan dengan budaya lokal kita sendiri. justru inilah yang akan membuat masyarakat terutama para kaula muda yang masih labil dalam mencari jati dirinya, akan sangat cepat sekali terpengaruh.

Selain itu, yang membuat jatuhnya harga diri bangsa ini adalah korupsi dan kebiasaan para birokrat Negara ini yang tak bisa menepati janji dan komitmennya. Berdasarkan kabar sindonews selasa 3 desember 2013, Indonesia masuk ranking ke-114 dari 177 daftar Negara terkorup di dunia. Data itu dirilis situs Tranparacy Internasional 2013. Apakah sangat tidak memalukan, jika bangsa yang terkenal dengan kaya akan sumber daya alam, budaya, pulau dan lain sebagainya harus memiliki pemerintah yang tamak dan rakus. Setiap tahunnya, KPK mencatat ada sekian ratus pemerintah yang malakukan tindak pidana korupsi di masa jabatannya, dan itu pun tidak semua kasus korupsi dapat terselesaikan. Fenomena ini sangat membuktikan bahwa korupsi telah sangat berbudaya dalam bangsa ini, tapi tidak boleh sampai terjadi akan munculnya kalimat “korupsi sebagai seni modern”. Karena itu akan merusak citra dan nama baik para budayawan pecinta seni dan juga makna seni itu sendiri.

Oleh karenanya, kita sebagai bangsa Indonesia sudah cukup kita bersenang-senang dengan seni-seni yang slama ini kita lakukan. Yang pada mulanya seni sebagai ajang mencari kesenangan dan jenjang mencapai karir, kini saatnya seni perlu diputarhaluankan 180 derajat sebagai suatu intrumen penyampai inspirasi rakyat, yang akan kita kenal dengan sebutan “seni protes”.

Seni protes ini adalah suatu cara dimana kita menyampaikan kegelisahan kita tentang Negara, ekonomi, politik dan lain sebagainya pada pemerintah melalui seni, terutama seni bernyanyi dan bernari. Karena kedua seni tersebut meruapakan hal yang sangat popular di bangsa ini. Pun dapat pula dijadikan tombak utama dalam mengikis kinerja pemerintah yang tidak disiplin.

Protes ataupun kritik yang akan diarahkan melalui seni bernyanyi, dapat dilangsirkan pada kalimat dalam syair-syair lagu yang menunjukkan adanya perlawanan dan ketidaksetujuan masyarakat pada kebijakan dan keputusan pemerintah yang tidak jelas (diantaranya BBM yang sangat menyiksa keadaan rakyat). Atau pula dengan bernari yang disutradarai pada gerakan-gerakan bernari yang menyimbolkan akan permusuhan dan kemarahan masyarakat akan hal itu.

Sebab itulah, kita sebagai bangsa bernari dan bernyanyi tidak hanya tersipu pada kesenangan semu saja, melainkan menunjutkan akan makna yang terkandung di balik kedua seni tersebut, bahwa seni pun memiliki arti dan pula sikap untuk melawan kebijakan pemerintah. Dengan begitu juga, bangsa ini tidak hanya dikenang sebagai bangsa yang lemah akan identitas dan idealismenya sendiri. Namun dalam sudut-sudut yang gelap dan tak terkena bias cahaya itu, terdapat puing-puing artefak kecil yang slalu siap menghantam dan menjaga garis koordinatif bangsa ini dalam melawan ketidakadilan dan kemungkaran.

 

Post Comment