Secangkir Kopi Pahit dan Potongan Chocolate Sponge Cake
SASTRA

Secangkir Kopi Pahit dan Potongan Chocolate Sponge Cake

Oleh: Jihan Ristiyanti*

Segelas kopi pahit lengkap dengan beberapa potongan chocolate sponge cake selalu tersaji di meja makan. Tidak ada yang berubah dari sajian itu. Cangkir kopi itu selalu ada di sisi kanan dan dilengkapi dengan tiga potong chocolate sponge cake di sisi kirinya. Begitu juga dengan garpu dan pisau kecil dari perak. Selalu seperti itu sejak Royhan resmi mengantongi kartu nama sebagai advokat di salah satu firma hukum ternama di Yogyakarta.

“Apa hari ini kamu pulang cepat?,” tanya wanita dari dapur yang tak jauh dari meja makan.

“Aku akan pulang malam, jangan menungguku.” Balas Royhan sambil menyimak koran yang sedari tadi ia bolak-balik

Meski sudah dilarang untuk menunggu, tetap saja sebagai wanita yang dihujani benih cinta, ia akan tetap menunggunya hingga larut malam. Sesekali ia menengok jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia sedikit cemas karena hari semakin larut.

“Kemana kamu? Kenapa batang hidungmu tak juga menampakkan wujudnya?,” ucapnya dengan mata sayu.

Tiba-tiba seseorang dengan bahu kekar mendekapnya dari belakang. Menggetarkan aliran darahnya yang sepersekian detik lalu tertidur.Aroma kopi jelas tercium dari bibir lelaki yang saat ini tak berjarak dengan bibirnya. Suhu panas kini beralih di ranjang yang dulunya menjadi saksi bisu betapa ia tergila-gila dengan suaminya. Suami yang kini telah terlebur menjadi satu dengan tanah. Ranjang itu kian panas, sama seperti dulu. Tapi ada yang berbeda dari pancaran matanya. Tiap kali usai ia memuaskan rasa lapar lelaki itu, ia menangis dengan menggigit selimut yang menutupi tubuh polosnya. Ia tak ingin lelaki itu tahu kegusarannya, hingga pekikan tangis itu mengoyak selimut putihnya. Tapi apa arti air mata itu? Apa ia menyesali pertikaian di ranjangnya? Benarkah itu air mata penyesalan? Bukankah kedatangannya di ranjang itu juga sebagai pelaku? Seperti aroma kopi pahit yang membuat candu, ia pun dibuat candu oleh bau akar kenanga pada lelaki muda itu.

Kopi pahit buatan Rati memang selalu sedap dikecap. Seperti sajian kopinya yang tak manis, hidup wanita itupun terasa pahit seperti kopinya. Di usia yang masih muda, suaminya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Usianya kala itu sudah 39 tahun, tapi kecantikannya sama sekali tak memudar. Semenjak kematian sang suami, banyak lamaran yang datang untuk ibu satu anak itu. Tak satupun lelaki di luar sana mampu memikat daya tariknya, kecuali lelaki yang kini tengah melucutinya, di atas ranjang panas tempat dulu ia dan suaminya menumpahkan emosinya. Sang fajar menyajikan kehangatan bersama dengan sajian secangkir kopi pahit dengan tiga potong chocolate sponge cake di meja makan. Dan setiap pagi selalu sama, memulai dengan seduhan kopi pahit dan obrolan ringan dan kecupan kening melepas kepergian anak semata wayang Rati untuk bergulat dengan berkas-berkas para penyakit hukum.

 

*Mahasiswi semester 4 Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum. Tercatat sebagai Koordinator Magang Divisi HRD LPM Solidaritas

 

Sumber gambar : dreamstime

Post Comment