Tradisi nyadran atau sedekah laut merupakan warisan nenek moyang masyarakat pesisir Jawa. Warga pesisir di beberapa daerah menggelar kebudayaan yang turun-temurun rutin setiap tahun.
Warga Tambakcemandi, Sidoarjo, termasuk yang masih rutin menggelar nyadran. Semua bersuka cita menantikan berlangsungnya nyadran, dari anak-anak hingga dewasa dan yang berusia senja. Setiap warga yang memiliki perahu menghiasinya maupun memperbaiki bagian cat yang luntur. Penduduk Tambakcemandi bersama-sama mengeluarkan iuran agar nyadran menajdi milik semua warga.
Acara inti dilakukan dengan berlayar menuju laut ditemani dengan nyanyian sinden Jawa. Nuansa kekentalan tradisi Jawa sangat tampak mewarnai rangkaian kegiatan nyadran. Apalagi saat ludruk tampil, anak-anak sangat menikmati guyonan di panggung. Warga Tambakcemandi maupun pengunjung dari luar desa bersuka cita bersama sanak saudara membaur memeriahkan nyadran.
Sepulang dari menangkap ikan Toni, salah seorang nelayan penduduk Tambakcemandi, yang masih berada di perahu, menceritakan pengalamannya selama memeriahkan nyadran. Sebelum prosesi inti dimulai, acara jalan sehat mewarnai pagi untuk menambah kehangatan kebersamaan antarwarga karena menjadi ajang berkumpul bersama keluarga.
“Satu prinsip yang saya jalankan, jangan sampai kufur atas nikmat yang diberi Allah, itu saja,” imbuh Toni sore itu (26/07).
Ulum yang satu perahu dengan Toni ikut menimpali. Menurut Ulum, para wali terdahulu dalam menyebarkan Islam juga dengan menggunakan budaya-budaya yang berlaku di nusantara. Ia pun mencontohkan bahwa pagelaran wayang itu salah satu hasil akomodasi dari dakwah Walisongo. Bagi para nelayan, tradisi ungkapan rasa syukur bentuk-bentuk kebudayaan warisan pendahulu Tambakcemandi tidak terpisahkan dari ekspresi keagamaan dalam Islam.
“Sama, nyadran ini juga hasil budaya,” tutur Ulum yang tidak banyak biacara yang kemudian melanjutkan pekerjaannya menguras perahu.
Ironisnya, kegiatan sedekah laut yang dilakukan secara guyub ini mulai digugat pihak-pihak yang menganggapnya sebagai bentuk tradisi yang melanggar ketentuan agama Islam.
“Ini perbuatan tidak benar, karena dalam Islam sendiri memohon kepada selain Allah itu berdosa. Lebih baik mengutamakan ajaran agama daripada mendahulukan budaya yang salah,” kata Irwan, bukan nama sebenarnya, yang pernah mengikuti nyadran di desa Tambakcemandi, kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Juni 2019 lalu.
Pengalaman Irwan mengikuti semua acara nyadran inilah yang membuatnya berkesimpulan bahwa pelaksanaan tradisi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia memandang, ketika melarung sesaji di laut dengan melakukan penyembelihan kambing dan membuangnya adalah bentuk persembahan kepada selain Allah.
“Itu sama halnya memberi sesembahan kepada laut,” ungkap Irwan.
Di ujung percakapan ia memberi nasehat dengan penekanan bahwa akan lebih baik prosesi sesembahan tidak perlu diadakan. Cukup dengan berlayar dan memberikan kesenangan kepada masyarakat sekitar dan pengunjung.
Menghormati dan Merayakan Tradisi
Sebagaimana diketahui, sekelompok orang dengan mengenakan pakaian dan atribut berciri penganut Islam pernah merusak sedekah laut di Pantai Baru, Poncosari, Srandakan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pada tahun 2018. Alasannya juga sama seperti yang diungkapkan Irwan, yakni kesyirikan berbalut budaya.
Akibat penyerangan dan penghancuran berbagai perangkat yang dipersiapkan warga dan panitia di malam sebelum tradisi ini digelar. Esoknya acara sedekah laut di Pantai Baru, Srandakan, dibatalkan. 9 pelaku perusakan dan teror tersebut ditangkap polisi.
Sangat berbeda dengan apa yang pernah menimpa warga pesisir Srandakan, Bantul, pelaksanakan sedekah laut di Tambakcemandi, Sidoarjo, selalu berjalan lancar. Meskipun pandangan miring seperti yang disampaikan Irwan terkait prosesi nyadran di Tambakcemandi tidak sedikit, kekompakan diekspresikan semua elemen warga di Tambakcemandi. Mulai dari organisasi masyarakat seperti karang taruna maupun yang berbasis agama hingga masyarakat sipil turut antusias merayakn nyadran.
Aparat desa dan kecamatan tidak hanya mendukung dan merestui, bahkan terlibat dalam pelaksanaan sedekah laut di wilayah Sidoarjo ini. Selain Tambakcemandi, nyadran juga menjadi tradisi yang digelar di Tanggulangin, kecamatan lain di wilayah pesisir Sidoarjo. Perbedaan pandangan yang ada di masyarakat dihargai, tanpa menimbulkan sikap dan tindakan yang merugikan warga lainnya.
Pagi itu, setelah selesai melayani pelanggan di warung, Likun terlihat mengambil posisi duduk yang sangat nyaman. Ia sebagai tokoh agama setempat menanggapi perbedaan pandangan tentang nyadran dengan cara yang rileks. Menurutnya nyadran ini sejatinya bentuk ucapan syukur masyarakat atas limpahan tangkapan ikan yang diambil dari laut. Hampir semua warga di Tambakcemandi makan dan hidup dari hasil tangkapan ikan di laut.
“Mayoritas masyarakat di sini Islam. Jadinya malam hari diadakan doa bersama sekaligus makan-makan. Saya rasa nyadran ini hanya sebagai bentuk perayaan simbolik, tujuannya ialah tetap bersyukur dan berdoa kepada Allah,” ucap laki-laki berpeci ini kepada Solidaritas (20/7).
Setiap perayaan nyadran semua masyarakat berkumpul bersuka cita. Perempuan dan laki-laki, anak-anak sampai yang kakek-nenek, religius maupun abangan, semua membaur. Warga Tambakcemandi, sambung Likun, sangat terbuka menyambut para pendatang dari desa dan wilayah lainnya yang ingin turut serta memeriahkan nyadran.
Mereka memegang prinsip bahwa tradisi ini selain bertujuan sebagai bentuk ucapan syukur, juga menjadi bentuk penguatan ikatan kehidupan sosial warga. Gotong-royong dan silaturahmi menjadi semangat yang terus ditumbuhkan
Seiring berjalannya tradisi, kerukunan tercipta untuk saling menumbuhkan rasa menjaga satu sama lain. Nyadran adalah ruwat (memelihara) desa. Sehingga doa-doa yang dipanjatkan dalam nyadran adalah memohon kepada Tuhan agar semua orang terhindar dari bencana laut, seperti banjir, rob maupun tsunami.
Masyarakat Tambakcemandi notabene berpaham ahli sunnah wal jamaah yang dianut organisasi keagamaan Nahdatul Ulama. Kegiatan-kegiatan khas seperti tahlil, istighosah, yasinan, membuat dan menyuguhkan ambeng dilakukan sebagai pengiring setiap digelar acara-acara budaya atau adat.
Ketua Ranting Nahdatul Ulama Tambakcemandi Sukis (50) menambahkan sekaligus menegaskan bahwa mereka yang merayakan nyadran tetap saudara kita. Bahkan warga NU turut serta dengan berpegang pada prinsip: niat melaksanakan tradisi itu baik, maka menjalankannya juga harus baik.
“Dalam nyadran juga ada tahlil, istighosah dan diakhiri doa bersama, ini malah sebagai inti acara. Tidak mungkin kalau acara doa itu jelek,” imbuhnya ringan kepada Solidaritas.
Gotong Royong Tradisi yang Lestari
Seorang pendatang dari Malang yang bekerja di salah satu warung makan ikan bakar di Tambakcemandi, Udin, menjadikan rangkaian kegiatan nyadran sebagai wisata rakyat. Ia terkesan dengan kekompakan warga.
“Mantap! Saya dan keluarga baru pertama kali ikut nyadran dan naik perahu. Rasanya senang sekali, membawa anak-anak dan istri berlibur. Perayaan ini harus ada setiap tahun,” Udin menceritakan pengalamannya mengikuti nyadran tahun lalu (20/07/2020).
Karena itu, ia berharap semua warga bisa terus bersatu untuk mengadakan tradisi nyadran yang adalah hiburan untuk semua orang, bukan hanya milik penduduk setempat. Lebih dari itu ia pun bermimpi semoga bermula dari nyadran yang dikunjungi orang-orang dari luar desa, Tambakcemandi dikelola oleh warga dan pemerintah setempat menjadi tempat wisata, tidak hanya pemancingan saja.
Tahun ini nyadran tidak digelar karena pandemi Covid-19. Hal tersebut disayangkan Udin dan, terutama, penduduk Tambakcemandi. Tetapi, seluruh warga menyepakati dan mematuhi ditiadakannya nyadran demi menghindari penyebaran virus corona yang sangat tinggi di Jawa Timur.
Peniadaan sementara nyadran cukup berdampak buat anak-anak kecil. Sebab, mereka menunggu saat-saat membahagiakan menaiki perahu ikut melarung ke laut.
Samiyatun yang tengah menjaga cucu bermain di teras rumahnya ikut unjuk suara. Ia sangat menyayangkan nyadran ditiadakan sementara tahun ini. Cucunya senang jika naik perahu.
“Apalagi jika ia dan teman-teman sebayanya melihat ikan kecil dan ubur-ubur laut,” kata Sumiyatun
Berbeda dengan Samiyatun, didatangi Solidaritas (18/7) Suyatun justru berkisah keterlibatannya tahun lalu dalam nyadran dan di setiap perayaan-perayaan sebelumnya. Sambil mencabut duri-duri ikan bandeng, perempuan yang mempunyai empat anak ini mengungkapkan bahwa pelestarian tradisi bukan tanggung jawab pribadi, tetapi seluruh masyarakat Tambakcemandi.
Tetangganya, Alfi, mengiyakan apa yang disampaikannya. Warga, termasuk, para perempuannya dengan sukarela dan suka cita menyumbang apa yang mereka bisa.
Malam hari sebelum nyadran diselenggarakan, lanjut Suyatun, semua warga mempersiapkan dari mulai menghias perahu, mencabut sementara kayu jembatan, dan mempersiapkan panggung untuk penutupan dengan menggelar wayang.
Untuk semua kebutuhan pelaksanaan nyadran dengan berbagai hiburannya, warga mengumpulkan dana atau iuran dari setiap kepala keluarga. Masing-masing warga juga memberikan kontribusi agar setiap tahun kebudayaan yang merakyat ini tetap berlangsung demi menumbuhkan jiwa tolong-menolong.
“Paling ingat dulu, semua orang membuat nasi tumpeng (ambengan) dilanjutkan makan bersama. Tradisi nyadran sebagai bentuk kasih sayang. Dilihat saja, kan masyarakat sudah diberikan kenikmatan tangkapan ikan oleh Allah,” kenang Suyatun yang mengenakan kerudung hitam.
Sementara, Hambali yang berprofesi sebagai nelayan merasa berkewajiban untuk mensyukuri atas rezeki tangkapan ikan yang setiap hari ia dapat. Meskipun setiap orang berbeda cara bersyukur, baginya penting untuk setidaknya setahun sekali turut memeriahkan budaya nyadran.
“Karena ini warisan dari leluhur untuk pengucap syukur bersama setiap tahun,” sambil membakar ikan hasil tangakapannya.
Saksi sejarah panjang nyadran, Sariaman, mengatakan dari tempat tidurnya, nyadran sudah ada jauh sebelum kemerdekaan berlangsung. Kakek dan buyut terdahulu juga sudah melakukan.
“Dulu pas waktu nyadran, semua orang berkumpul jadi satu di rumah kepala desa, bercanda dan doa bersama. Kalau sekarang ya banyak variasi untuk meriahkan tradisi ini,” ujar Sariaman yang kini berusia 80 tahun (18/07).
Ia menambahkan, semangat masyarakat sangat luar biasa. Harapannya, perayaan ini tetap dijalankan oleh generasi penerusnya, karena hampir semua mata pencaharian masyarakat Tambakcemandi di laut dan dari laut.
Ditahun 1980-1995 perayaan budaya nyadran mulai berbeda, dengan setiap keluarga membuat nasi tumpeng. Malam harinya semua berkumpul menjadi satu melakukan doa dan ditutup memakan tumpeng bersama.
Penambahan tradisi, sambung Sariaman, dimulai setelah tahun 1995 dengan berlayar di laut sembari melakukan penyembelihan hewan kerbau. Siang hari dilanjutkan setiap keluarga membuat jajanan. Sehabis maghrib semua berkumpul menjadi satu dan dilakukan doa bersama. Kemudian ditutup dengan pagelaran wayang, sambil menunggu masyarakat saling berbincang guna mempererat tali persaudaraan.
Perbedaan generasi mempengaruhi berlansungnya budaya nyadran sekitar 2009-2019. Berbagai elemen masyarakat ikut memeriahkan. Sebagian warga mengajak saudara di kampung halaman untuk turut serta. Masyarakat yang memiliki perahu dimanfaatkan menampung pengunjung dari luar desa. Nyadran menjadi ajang wisata dadakan, menarik biaya perkepala untuk tambahan uang yang dijadikan biaya hidup.
Gelaran nyadran dimulai dari pagi hinggga petang. Pagi jam 06.00 dibuka dengan jalan sehat dengan diadakan undian doorprize. Jam 11.00 dilanjutkan pemberangkatan perahu ke laut ditemani iringan sinden. Semua warga dan pengunjung yang menaiki perahu disuguhkan pemandangan laut, rawa dan prosesi menyembelih kambing di tengah laut. Sehabis Maghrib ditutup dengan tahlil, istighosah dan doa. Lebih malam lagi dilanjutkan perayaan dan penampilan ludruk.
Harapan singkat diungkapkan salah satu perangkat desa, Taman, yang menjabat sebagai Pamong desa. Semoga semua orang di setiap selesai perayaan nyadran dapat semangat lagi untuk bekerja. Ucapan rasa syukur yang dipanjatkan warga dan pengunjung dalam nyadran semoga didengar Tuhan sehingga seluruh penduduk Tambakcemandi mendapat rezeki lebih dari sebelumnya.
Nar salah satu anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Tambakcemandi yang ikut berpatisipasi membantu jalannya sedekah laut menandaskan pentingnya tradisi guyub ini. Apa yang ia lakukan untuk menghargai pejuang dan generasi sebelumnya yang menurunkan tradisi nyadran sebagai ajang merekatkan warga.
“Tinggal melanjutan saja masak tidak mau,” tegas Nar. [Akbar]