Agape Simeio
SASTRA

Agape Simeio

Oleh: Akbar T. Mashuri*

Umurku sudah tidak lama lagi, kurang lebih 6 bulan aku berada di bumi. Masih tersisa rindu, bahagia, serta bagaimana luka harapan yang membuatku hidup sampai sekarang. Katankanlah kepada mereka semua, bahwa aku akan hidup, aku akan terus bersama mereka, meski jasad tidak lagi menemani dan tangis tak bisa lagi dihindari.

“Kamu yang kuat ya, Bar,” ucap Keyla mencoba menyemangatiku.

“Tidak perlu cemas, Key. Aku akan selalu menemanimu.” Aku menatapmu dan berdoa agar kebahagiaan selalu menjadi milikmu, biar sakit ini menjadi milikku.

Cukupkan diriku berada dalam bayang mimpimu, agar kamu ingat bagaimana masa kebersamaan kita. Merindu mengukir senyum, mengukir tawa, dan mengukir masa depan. Akankah terwujud mimpi-mimpi kita untuk bersama? Atau hanya sebatas kata yang terlontar? Jika memang hanya sebatas kata yang terjadi, aku berharap kamu marah kepadaku, kamu maki dan hina aku seperti kamu membenci sesuatu yang mengusikmu.

Itulah keinginanku, wujudkanlah. Biar nanti aku bisa tenang jika sudah tidak bernapas lagi. Bila kamu sudah melakukan, aku akan tersenyum bahagia. Karena aku tau bahwa yang abadi dari sebuah pertemuan adalah perpisahan.

“Kamu ngomong apa sih, Bar, aku sungguh tidak mengerti maksudmu.”

“Dengarkan saja, Key, aku hanya memintamu untuk mendengarkan omelanku hari ini. Kali ini biarkan aku yang berbicara, kamu mendengarkan saja.”

Keyla menganggukkan kepala bertanda setuju denganku.

Hampir setengah jam aku bercerita perihal masa lalu, meski masa lalu adalah luka yang perlu dihapus, akan tetapi ada satu titik masa lalu akan mengembalikanku ke dalam ruangan kedap suara yang di dalamnya hanya  ada aku dan Keyla. Membahas apapun terkait kebersamaan kita.

“Tit, tit, tit.” terdengar suara dari pendeteksi jantung.

Tubuhku sudah mulai melemah, kakiku sudah tak mampu untuk bergerak, jari-jemariku hanya kelingking yang  bisa bergerak, dan mataku sudah mulai berat untuk aku buka.

“Bar, Bara. Kamu kenapa? Jawab aku Bara.” Tangan kanan Keyla mengoyangkan badanku.

“Sakit, Key, aku masih hidup kok,” ucapku berat. Memang seluruh badanku susah untuk digerakkan, tetapi mulutku masih bisa merapalkan beberapa kalimat walau berat.

“Kamu benar-benar tidak akan meninggalkan aku, kan?” tanya Keyla yang pipinya sudah basah dengan air mata.

“Jika memang aku sudah tidak ada, aku berharap kamu selalu bahagia.”

“Aku tidak akan rela jika kamu meninggalkanku, Bar.”

Aku tidak tau harus berbicara apa lagi, tetapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan kepada Keyla, semacam nasehat dan ocehan, “Meski nanti aku mati, lalu kamu patah hati. Aku berharap kamu menyukai seseorang kembali, walau nanti kamu harus bersiap untuk patah hati kesekian kali. Paling tidak hidup tak melulu soal masa lalu. Ini pintaku, Key.”

“Aku tidak peduli perihal lain, terpenting sekarang adalah kesembuhanmu.”

Detak jantungku mulai berhenti, Keyla menangis, Ayah berlarian menemui dokter untuk segera menanganiku. Sebelah kananku sudah ada seorang yang bercahaya datang menarikku secara perlahan.

Aku melihat Keyla menangis tersedu, dokter mencoba mengembalikan detak jantungku, dan Ayah merapal berdoa demi keselamatanku. Sekarang aku bahagia bisa melepas semua meski kepergianku dibanjiri air mata.

“Bara, jangan tinggalkan aku. Bara, kenapa kamu tidak mau mendengarkanku? Maafkan semua yang telah aku perbuat, banyak sekali hal yang ingin aku sampaikan kepadamu, dari hal terkecil dan besar. Maafkan aku yang telah sering membohongimu.”

Kini kau mengungkapkan semua apa yang ada di sisi hatimu, kepergianku ini menjadi awal dari kejujuranmu. Kebohongan dan rahasia yang disembuyikan tiba-tiba kau utarakan perlahan, satu demi satu.

Sebelum aku meninggalkan semua yang ada di bumi, aku meminta izin untuk mengucapkan satu hal.

“Menangislah … kamu berhak.”

***

Keyla menceritan kisahnya sendiri kepada anak-anaknya yang sudah remaja, mengajarkan sebuah kerinduan yang terbalut luka atas sakitnya penderitaan. Aku melihat di atas sana sangat tenang, akhirnya kau bisa hidup dengan tenang. Sesungguhnya aku mengerti bahwa kamu tidak benar mencintai laki-laki ini, sebab kamu tidak ingin patah hati kesekian kali dari luka awal akibat kepergiaan.

Ini memang salahku, aku mengakui. Aku sudah melihat senyum bahagiamu  di atas sini. Sudah waktunya aku beranjak untuk tak kembali. Doaku masih sama seperti sebelumnya, “Tersenyumlah jika kamu bahagia, menangislah jika kamu mengalami luka, dan berserahlah jika kamu tidak sanggup melangkah. Semoga harimu menyenangkan, tanpa hadirku dalam mengukir sejarah perjalanan. Semoga kamu sehat, sehingga mampu tersenyum di waktu yang tapat. Aku berdoa kepada Tuhan, agar kamu dapat menemuiku jika kamu sudah menyusulku.”

 

*) Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya semester 2, saat ini menjadi anggota Maganger LPM Solidaritas 2019

 

Sumber gambar: https://www.freepik.com/premium-vector/love-valentine-day_2739895.htm#page=1&index=48&query=love

Post Comment