Akhir-akhir ini dunia digemparkan oleh suatu produk maya berbasis Artificial Intelligence (AI) buatan Open AI yang mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan manusia dengan cepat nan praktis bernama Chat GPT (Generative Pre-trained Transformer).Fitur-fiturnya yang mampu menyediakan informasi-informasi yang terlihat terpercaya, tak ayal penggunanya pun semakin banyak dan masif dalam beberapa bulan terakhir.
Namun, banyak manusia yang seakan-akan terlena dengan kecanggihannya, kecepatannya, dan kemampuannya dalam mengolah sebuah kalimat menjadi sebuah informasi yang baru, sehingga membuat kita sedikit melupakan bahaya besar dalam satu dekade terakhir yaitu disinformasi. Dengan meledaknya penggunaan AI, apakah kita siap untuk menghadapi banyak disinformasi yang disebabkan oleh AI?
Apa Itu Artificial Intelligence?
Alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu alat ini sebelum memasuki pokok pembahasan pada tulisan ini. Artificial Intelligence adalah suatu teknologi simulasi kemampuan berpikir manusia oleh mesin terkhususnya sistem komputer. Kemampuannya dalam menghitung angka demi angka pada komputer dengan cepat menghasilkan banyak sekali fitur-fitur yang sering kita gunakan seperti face recognition, speech recognition, hingga filter-filter pada gambar.
Pada sejarahnya, pemahaman kecerdasan buatan diawali oleh beberapa filsuf pada tahun 1900-an yang mencetuskan teori matematika antara lain George Boole (pencetus teori Aljabar Boolean), Alfred North Whitehead dan Bertrand A.W. Russell (pencetus teori Principia Mathematica) yang kelak menjadi landasan untuk pembuatan teori Ilmu Komputer.
Kemudian pada era perang dunia pertama tepatnya tahun 1936, Alan Turing membuat Mesin Turing yang menjadi alat pemecah pesan enkripsi dari Enigma buatan Jerman.Berlanjut 26 tahun kemudian, pada tahun 1956 sebuah konferensi bernama Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence yang diadakan oleh John McCarthy and Marvin Minsky, memperkenalkan program AI pertama di dunia.
Namun respon yang diterima tidak memuaskan dan banyak pelaku industri pada saat itu tidak menganggap program baru ini bisa menjadi standar mereka. AI mulai menjadi hangat pada awal tahun 2000an dimana dunia sudah mengenali internet sehingga AI dapat melaju pesat hingga kini.
Disinformasi di Indonesia
Disinformasi memang masih menjadi masalah yang cukup umum di berbagai belahan dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Republik Indonesia terdapat 39 disinformasi yang tersebar selama Maret tahun 2022.
Internet menjadi penyebab utama tersebarnya suatu disinformasi, terlebih dengan adanya sosial media sekarang ini malah membuat disinformasi semakin banyak. Sesuai dengan data dari Kemenkominfo Republik Indonesia, terdapat berbagai bentuk dari sebuah disinformasi, salah satunya berita.
Berita menjadi objek disinformasi yang paling banyak ditemui di situs atau media sosial selain mudah diakses dan mudah dibuat, beberapa jenis berita juga memiliki durasi membaca yang relatif singkat. Hal ini menjadi daya tarik para penjahat cyber untuk membuat disinformasi berbentuk berita.
AI Jembatan Disinformasi
Mengutip pada artikel CNN Indonesia pada tanggal 17 Februari 2019 yang menyebutkan bahwa Artificial Intelligence buatan Open AI tersebut mampu membuat berita secara otomatis melalui model GPT-2. Terlepas dengan banyak false error terhadap hasil model tersebut, bukan berarti di masa depan mesin ini akan cacat terus-menerus.
Sebuah jurnal dari University of Guelph, Canada menyebutkan bahwa manusia hanya mampu membedakan karya tulis ilmiah buatan manusia dengan karya tulis ilmiah buatan Chat GPT sebesar 68% saja. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi disinformasi yang cukup besar di masa depan.
Dilansir melalui New York Times, para peneliti menyebut bahwa Chat GPT dapat membuat disinformasi menjadi lebih mudah diproduksi sekaligus menjadi ahli teori konspirasi dan penyebar disinformasi. Beberapa portal berita di Amerika Serikat juga menyebutkan Chat GPT dapat jadi senjata paling ampuh dalam menyebar sebuah disinformasi di internet.
Dengan banyaknya potensi bahaya pada penggunaan Chat GPT sebagai sumber informasi maka masyarakat diharapkan agar lebih waspada pada setiap informasi-informasi yang tersebar pada ruang digital terutama pada pemberitaan.
Penulis: Raya Akbar Tiar