Oleh: Toyiz *
Dalam Islam kita sama-sama mengenal tentang adagium yang berbunyi “likulli ro’sin ro’yun” (setiap kepala mempunyai pemikirannya sendiri-sendiri) sehingga setiap kali seseorang memaknai dan memahami suatu teks maupun ayat Quran selalu memunculkan potensi makna yang beragam (multitafsir) misalnya, dalam menentukan suatu hukum.
Hal ini dipicu oleh beberapa hal yang melatarbelakanginya, diantara sebabnya ialah kondisi sosio-kultur yang berbeda, masa, kondisi politik, dan wawasan keilmuan serta metode yang dipakai untuk mengkaji setiap persoalan juga berbeda-beda. Sehingga dalam kajian ilmu ushul fiqih ada kaidah yang berbunyi, “taghyiirul ahkam bitahgyiri az zaman wa al makan” (hukum dapat berubah dengan perubahan zaman dan tempat).
Di sinilah kita harus memahami bagaimana inklusivitas dalam berpikir, yang kemudian corak berpikir inilah yang nanti akan menyelaraskan komposisi teks dengan kondisi sosial budaya masyarakat, seiring dengan perkembangan dan kemajuan dunia, tanpa harus mengerdilkan kaidah maupun ajaran-ajaran yang tertuang dalam agama (al quran) itu sendiri.
Berpikir inklusif berarti memiliki kecenderungan untuk bersikap terbuka artinya kebenaran tidak mutlak hanya dimiliki oleh satu kelompok. Misalnya, dulu sebelum konsili Vatikan II yang dipimpin oleh Sri Paus Yohanes Paulus XXIII memandang keselamatan hanya ada dalam Gereja Katolik Roma. Namun prinsip itu diubah dalam Konsili Vatikan II tersebut yang mengatakan mereka menghormati hak tiap-tiap orang untuk mencapai kebenaran abadi, sekalipun mereka menganggap kebenaran abadi tetap ada dalam Gereja Katolik Roma.
Hal Ini pun memiliki kesamaan dengan pedoman yang kita yakini dalam Islam ketika Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi” ( Q.S Ali Imran : 85). Karena masing-masing agama dengan dalil yang di milikinya berhak mengklaim atas kebenaran individualnya masing-masing. Tetapi dalam spektrum kehidupan sosial bermasyarakat, manusia tetap harus mengormati dan menghargai satu sama lain dan agama manapun di negeri ini.
Islam sebagai agama yang membawa kemaslahatan dan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) sudah sepatutnya setiap aktivitas spiritual maupun sosialnya membawa kebaikan dan peran kemanusiaan bagi siapa saja yang menerimanya maupun yang masih menututupi dirinya dengan Islam. Tetapi tidak lantas kita membenci orang yang berbeda keyakinan, memarjinalkannya, dan apalagi merampas hak-hak hidupnya dalam bernegara.
Kesadaran berpikir inklusif (terbuka) akan memberi ruang yang lebih universal dalam memahami dimensi agama itu sendiri, kaitannya dengan hidup dalam bermasyarakat yang memiliki tingakat heterogenitas yang cukup kompleks.
Menyadari Multikulturalitas
Indonesia, negeri yang kaya ini selain memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-empat setelah China, India, Amerika Sertikat (USA), memiliki penduduk sebanyak 264 juta jiwa, memiliki pulau yang berjumlah ribuan tepatnya 17.504 pulau, bahasa yang bermacam-macam, juga memiliki corak atau kultur budaya yang beraneka ragam, bisa kita menyebutnya dengan negeri yang multikulturalistik yang bahkan menghormati mereka yang berlaianan keyakinan satu dengan yang lain.
Secara istilah, multikultural juga biasa digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang mengenai ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan bermasyarakat yang menyangkut nilai, sistem, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Fakta real diatas harus menjadi sebuah kebanggan dan kekayaan untuk mempererat tali persaudaraan dalam jalinan kasih sayang, karena yang beda jangan disama-samakan, yang sama jangan dibeda-bedakan.
Manusia harus menyadari bahwa keperbedaan adalah given (pemberian Tuhan). Persoalannya adalah masih saja ada sekelompok orang yang belum menerima sebagian perbedaan yang ada di masyarakat. Perbedaan dianggapnya adalah musuh yang lambat laun akan merusak tatanan sosial atau bahkan keyakinan yang selama ini telah diyakininya.
Maka disinilah pentingnya manusia memahami dan menyadari bahwa berpikir terbuka/inklusif (lawan dari tertutup/eksklusif) akan menghindarkan manusia dari sikap ekstrim, sempit dalam penafsiran, dan ujungnya akan merasa benar sendiri. Selain itu kita juga dihadapkan pada kondisi sosial budaya yang beragam (multikultural) yang harus disadari bersama. dan dalam pandangan serta wawasan multikultural ini nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan perlu ditanamkan untuk orientasi persatuan dan kesatuan.
*Mahasiswa semester ? UIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber gambar: Kompas