MediaSolidaritas.com – Bulan suci Ramadan, bulan penuh berkah yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat muslim. Bulan ini kerap kali dijadikan sebagai momen berkumpul bersama keluarga, teman kerja, atau teman lama.
Momen-momen berkumpul ini sering dilakukan di waktu menjelang berbuka hingga berbuka puasa. Momen ini seringkali disebut dengan “berbuka bersama” atau bahasa gaulnya dikenal dengan “bukber”.
Berbicara tentang bukber, tentu yang ada dibenak kita adalah kegiatan untuk mempererat tali silaturahmi. Tapi siapa sangka, bukber akhir-akhir ini justru dijadikan sebagai ajang flexing oleh sebagian orang.
Dilansir dari artikel Kompasiana, Presiden Indonesia, Joko Widodo menyoroti perilaku flexing dengan mengeluarkan larangan buka bersama bagi para pejabat dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini disebabkan karena saat ini para pejabat negara tengah menjadi sorotan masyarakat mengenai gaya hidup mewah yang kerap dipamerkan di sosial media.
Ada berbagai macam perilaku flexing yang dilakukan di momen berbuka bersama, slaah satunya adalah memamerkan busana yang dikenakan.
Tak jarang para peserta bukber rela merias dirinya dengan berbagai riasan dan busana terbaik untuk dipertontonkan kepada peserta bukber yang lain. Bahkan, acara bukber kerap kali memiliki tema busana yang ditentukan dan membuat para pesertanya berlomba-lomba untuk berdandan.
Perilaku flexing yang lain yaitu memamerkan pencapaian. Buka bersama kadang dilakukan sebagai acara reuni atau temu kangen bersama teman-teman seperjuangan di sekolah dulu.
Nah, beberapa orang juga kerap kali memanfaatkan momen ini untuk memamerkan pencapaian diri mereka kepada teman yang hadir. Misalnya, mereka memamerkan pencapaian mereka karena bisa berkuliah, punya pekerjaan yang bagus, atau kehidupan yang serba enak.
Dari contoh-contoh tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa acara bukber yang diperuntukkan sebagai wadah silaturahmi tidak selamanya mendatangkan hal positif. Justru yang sering terjadi malah timbulnya insecurity atau tidak percaya diri.
Lebih lanjut, tidak jarang bukber membawa euforia yang membuat banyak pesertanya melupakan ibadah sholat maghrib. Tempat bukber yang tidak ramah untuk sholat, makeup yang sayang untuk dihapus saat akan wudhu merupakan beberapa bentuk alasan yang melatarbelakanginya. Sungguh merugi lelah berpuasa seharian, tetapi meninggalkan sholat maghrib hanya karena bukber.
“Menurutku, dari zaman dulu acara kumpul-kumpul kayak gitu sudah identik dengan flexing, jadi bukber juga termasuk. Menurutku ya harusnya lebih ditekankan lagi ukhuwahnya, jangan cuma nyari validasi orang doang,” tutur Halimahssakdiyah, mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
M. Yusuf, dosen Bimbingan Konseling Islam(BKI) UINSA mengatakan bahwa berdasarkan teori Abraham Maslow, ada lima dasar kebutuhan manusia: kebutuhan fisiologis, keselamatan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Penghargaan sering dikaitkan dengan self-esteem atau harga diri. Ketika manusia memiliki self-esteem yang rendah maka akan melakukan flexing untuk dapat meraih harga diri yang tinggi. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya mencari pengakuan dari orang-orang di sekitarnya.
“Ada yang namanya sifat narsisme, dimana orang menunjukkan sifat narsisme untuk memperoleh pengakuan. Menurut saya, kenapa orang bisa melakukan flexing ya karena itu,” jelas Yusuf.
Meskipun menjadi kebutuhan mendasar bagi manusia, tetapi jika dilakukan dengan berlebihan (flexing, red) tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri. Orang lain mungkin akan memiliki pandangan negatif terhadap kita, sehingga hal yang sering terjadi adalah munculnya rasa iri dengki hingga berujung pada terputusnya tali silaturahmi.
Padahal, ada banyak cara yang bisa membuat suasana bukber lebih bermanfaat. Para peserta bisa membagikan takjil bersama, menghindari percakapan yang tidak penting (gibah) dengan mengadakan tausiyah ilmu agama, dan tidak lupa untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah selepas perut terisi penuh.
Dengan demikian, niat berbuka puasa bersama harus mulai dibenahi oleh setiap individu yang akan melaksanakannya, dan mencari tahu apa sebenarnya esensi dari bukber.
Penulis: Istiana Agus Saputri & Nazelia Rani
Editor: Alfi Damayanti dan Nabila Wardah