MediaSolidaritas.com – Selasa (9/10) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menggelar Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yang disiarkan melalui live youtube. Permohonan dengan nomor perkara 38/PUU-XIX/2021 diajukan oleh Hientje Grontson Mandagie, Hans M kawengian, dan Soegiharti Santoso. Ketiganya merupakan pimpinan perusahaan pers sekaligus wartawan yang menggugat secara perseorangan. Mereka mempersoalkan norma pada pasal 15 ayat (2) huruf f dalam kasus a quo dan pasal 15 ayat (5).
Para pemohon menilai peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Pers pada pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers memiliki ketidakjelasan makna, multitafsir, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional. Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers No. 40 Tahun 1999, pada kalimat “Dewan Pers melakasanakan fungsi sebagai berikut : Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan yang di bidang pers” oleh para pemohon ditafsirkan sebagai “Dewan Pers memonopoli pembentukan semua peraturan pers serta mengambil alih peran organisasi pers di bidang pers”.
“Secara gramatikal, norma yang ditulis dalam UU tersebut memiliki pemaknaan yang jelas, tidak multitafsir, apalagi sumir. Para pemohon dapat melihat bagian penjelasan pasal yang sudah disebutkan yang didalamnya terdapat fakta. Artinya dalil para pemohon dianggap tidak berdasar sama sekali,” ujar kuasa hukum Dewan Pers Wina Armada Sukardi.
Lebih lanjut, Wina menjelaskan Kata memfasilitasi dalam KBBI yang berarti sarana melancarkan pelaksanaan fungsi. Sehingga jika dihubungkan dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f tidak timbul penafsiran baru. Pada penerapan pasal ini, para pemohon menafsirkan Dewan Pers memiliki wewenang dalam membuat peraturan di bidang pers sehingga secara sepihak mengambil alih peran organisasi pers.
Mengenai hal tersebut, pihak pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf f tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers.
“Dewan Pers sifatnya memfasilitasi, memberi dukungan kemudahan, dan sarana bagi organisasi pers dalam menyusun aturan di bidang pers dengan cara mendiskusikan dan membahas secara stimulan sehingga dapat memperoleh hasil akhir atas penyusunan peraturan dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan,” ujar kuasa hukum Dewan Pers lainnya Frans Lakaseru.
Selain itu, kuasa hukum Dewan Pers juga menyatakan bahwa pemohon merupakan wartawan yang belum mengikuti peraturan Dewan Pers mengenai kompetensi pada profesi kewartawanan. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya nama pemohon baik pertama, kedua, dan ketiga pada laman Dewan Pers yang berisi data dan informasi wartawan.
“Dalam melaksanakan tugas, wartawan harus memiliki kompetensi memadai yang sudah disepakati masyarakat pers dimana untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Berdasarkan peraturan Dewan Pers yang diberlakukan sebagai hukum dan mengikat bagi organisasi pers. Peraturan itu dibuat untuk menjamin kemerdekaan pers dan memastikan pers di Indonesia melaksanakan fungsi secara beretika, profesional, dan bertanggung jawab,” papar Frans. (DIN)