Eks Rumah Radio Bung Tomo ; Saksi Bisu yang Menjadi Puing Sejarah
FEATURES

Eks Rumah Radio Bung Tomo ; Saksi Bisu yang Menjadi Puing Sejarah

Salah satu peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu proses kemerdekaan di Kota Pahlawan adalah sebuah bangunan yang terletak di Jalan Mawar No. 10, Surabaya. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 2000 meter persegi, dulu digunakan Bung Tomo dalam menyiarkan pidato-pidatonya di radio, bertujuan untuk membakar semangat Arek-Arek Suroboyo dalam melawan pasukan Kolonial Inggris.

Rumah tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran Bung Tomo, aktor di balik peristiwa 10 November 1945. Bung Tomo yang pernah menjadi seorang wartawan dan menjadi pegawai kantor berita Domei di Surabaya pada zaman kedudukan Jepang.

Sejarah Markas Radio Pemberontakan Pada masa itu, Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai lembaga penyiaran resmi pemerintah, sudah berdiri di beberapa kota besar di Indonesia. Bung Tomo melontarkan gagasannya akan pendirian Radio Pemberontakan kepada Presiden Soekarno dan Amir Sjarifuddin, Menteri Penerangan. Gagasan pendirian radio pemberontakan sebagai media untuk menyuarakan perlawanan.

Ketika sampai di Surabaya pada tanggal 12 Oktober 1945, Bung Tomo bergegas menuju RRI Surabaya di jalan Simpang. Bertemu kepala RRI Surabaya, menyampaikan keinginanannya untuk menggunakan stasiun pemancar Radio Surabaya sebagai markas radio pemberontakan, gagasan dari Bung Tomo tersebut. Kepala RRI Surabaya tak keberatan, asalkan ada izin dari Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya, Doel Arnowo, atau kepada Residen Surabaya, Sudirman.

Malam harinya, Bung Tomo mengundang beberapa kawannya untuk berembug di sebuah rumah di Jalan Biliton No. 7 Surabaya. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), sebuah organisasi kelaskaran yang terkenal berani mati.

Pada tanggal 15 Oktober 1945, melalui surat kabar Soeara Rakjat, Bung Tomo mengumumkan bahwa Radio Pemberontakan pada saat itu akan mengudara perdana dengan gelombang 34 meter. Residen Sudirman dan Doel Arnowo hadir untuk memastikan peminjaman pemancar RRI Surabaya tersebut.

Radio Pemberontakan, sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda Surabaya telah rampung, ketika bantuan datang dari Menteri Pertahanan, drg. Moestopo. Dengan memberikan bantuan berupa pesawat pemancar bergelombang pendek bekas Jepang yang dimiliki Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Radio Pemberontakan dapat mengudara setiap Rabu malam dan Minggu malam. Siarannya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa daerah dan bahkan bahasa asing terutama bahasa Inggris.

Atas prakarsa dr. Sugiri, datanglah seorang Warga Negara Amerika yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Miss Deventery atau lebih dikenal dengan nama Bali, Ktut Tantri, bersedia menjadi penyiar dalam bahasa Inggris di Radio Pemberontakan tersebut.

Riwayat Eks Markas Radio Pemberontakan Pada tahun 1998, eks Rumah Radio Bung Tomo dijadikan sebagai Bangunan Cagar Budaya, sesuai SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04/1998. Sebuah plakat berwarna keemasan yang tertempel pada depan tembok teras rumah bertuliskan: “Bangunan Cagar Budaya; Rumah Pak Amin (1935). Jalan Mawar 10-12 Surabaya.

Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI) Bung Tomo. Di sini Ktut Tantri (Warga negara Amerika) menyampaikan pidatonya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal di luar negeri”. Terdapat pula sebuah prasasti dengan beberapa tanaman yang membuat asri halaman depan bangunan tersebut.

Rumah itu sebelumnya digunakan sebagai rumah dinas PNP, salah satu perusahaan pergulaan peninggalan zaman Belanda. Saat ini, PNP berubah nama menjadi PT. Perkebunan Nusantara (PTPN). Aminhadi bekerja di perusahaan tersebut hingga jabatan Direktur Utama (Dirut). Karena ada kesempatan untuk membeli, maka Amin pada saat itu membelinya atas izin dari Menteri Pertanian pada saat itu, Prof. Dr. Thoyib Hadiwidjaja.

Sejak saat itu, keluarga pasangan suami-istri, Amin Hadi dan Nini Anila menempati bangunan tersebut.

Nahas, sejak 3 Mei 2016, eks Rumah Radio Bung Tomo telah rata dengan tanah. Pembongkaran yang dilakukan oleh pemilik barunya PT. Jayanata, untuk dijadikan lahan parkir sebuah Plaza. Sebelum beralih ke PT. Jayanata, bangunan itu ditempati oleh keluarga Narindrani (68 tahun) dan Tjintariani (66 tahun), anak dari pasangan Bapak Amin Hadi dan Nini Anila tersebut.

Sejak peralihan kepemilikan dari Narindrani ke PT. Jayanata pada Desember 2015, PT. Jayanata mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada Februari 2016 mengajukan izin renovasi, dan rekomendasi baru keluar pada Maret 2016. Namun yang terjadi pada awal Maret 2016, bangunan di atas tanah 2000 meter persegi tersebut dirobohkan oleh pemilik barunya, dan pemilik lama tidak mengetahui proses perobohan bangunan tersebut.

Sehubungan dengan itu, Pemerintah kota (Pemkot) Surabaya angkat bicara dan mengakui pihaknya memang mengeluarkan rekomendasi kepada PT. Jayanata, perusahaan di bidang kecantikan sebagai pemilik bangunan untuk merenovasi rumah cagar budaya tersebut. Namun tidak disangka, bangunan tersebut dirobohkan.

Berbagai pihak menyesalkan atas perobohan eks Rumah yang menjadi saksi bisu para pejuang di kota Surabaya untuk menyiarkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari pihak keluarga, salah satu putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, menuturkan bahwa sangat menyesalkan pembongkaran Rumah Radio Bung Tomo. Menurut dia, itu tidak menghargai nilai-nilai perjuangan para Pahlawan dan merupakan gaya baru pengkhianatan terhadap Pahlawan.

Di kutip dari TEMPO.CO, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, buka suara perihal pembongkaran Rumah Radio Bung Tomo. Ia mengaku menyesalkan pembongkaran cagar budaya itu. “Terus terang saya juga nyesal,” kata Risma kepada wartawan di Gedung DPRD Kota Surabaya Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya, Irvan Widyanto, mengatakan, Pemerintah Kota Surabaya akan mempidanakan pembongkar Rumah Radio Bung Tomo.

Menurut dia, pembongkaran itu melanggar peraturan dan undang-undang, karena bangunan itu termasuk ke dalam salah satu cagar budaya. Dalam kasus ini, kata Irvan, ada dua aturan dalam objek yang sama. Keduanya sama-sama bisa dijadikan acuan untuk menjerat pembongkar lahan seluas 15 x 30 meter itu. Dua aturan itu adalah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pelestarian Cagar Budaya.

Dikutip dari TEMPO.CO, pengamat sejarah Surabaya, Dukut Imam Widodo, tak terlalu terkejut dengan pembongkaran rumah tersebut. Pasalnya, pembongkaran semacam itu sering dilakukan walaupun sudah ada peraturan daerah tentang cagar budaya. “Perda itu hanya di kertas saja karena realisasinya tidak ada,” kata Dukut.

Dukut berujar Dinas Pariwisata sering berdalih kecolongan bila ada bangunan bersejarah yang dibongkar. Padahal, rumah di Jalan Mawar itu salah satu bangunan yang berhubungan langsung dengan pertempuran 10 November 1945. “Paling-paling Dinas hanya bilang kami kecolongan,” kata Penulis buku Surabaya Tempo Doeloe ini. (Jdl)

Post Comment