MediaSolidaritas.com – Bulan suci Ramadan merupakan bulan mulia dimana umat Islam berlomba-lomba untuk mencari keberkahan.
Sejatinya esensi dari puasa di bulan Ramadan adalah untuk melatih kita menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu serta bersikap sederhana agar ikut merasakan kesulitan saudara-saudari semuslim yang kekurangan.
Namun, fenomena food waste pada bulan Ramadan malah meningkat daripada bulan-bulan biasanya. Menurut The State of Food Agriculture (FAO) 2019, food waste adalah penurunan kuantitas atau kualitas makanan akibat perilaku retail, penyedia jasa makanan, dan konsumen.
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020, penyumbang sampah nasional terbesar berasal dari sampah rumah tangga.
Hasil kajian Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama sejumlah lembaga terkait mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2000 sampai 2019 jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 23-48 juta ton tahun atau setara 115-184 kilogram per individu per tahun.
Seringkali masyarakat mengaggap remeh terhadap sampah organik, padahal sampah tersebut dapat berbahaya bagi lingkungan terutama pada pemanasan global.
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Islam Negeri Surabaya (UINSA) Shinfi Wazna menjelaskan bahwa jika dilihat dari komposisi sampah organik, zat yang paling banyak dihasilkan sampah ketika tertimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah gas metana.
Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim.
Gas metana yang berlebih dapat merusak lapisan ozon bumi sehingga suhu di bumi menjadi lebih panas. Selain itu gas metana juga dapat menyebabkan kebakaran.
“Seringkali kita melihat berita kebakaran di TPA A misalnya, padahal disitukan gak ada bahan bakar. Nah sampah itu sendiri ketika tertimbun lama di TPA itu sudah menjadi bahan bakar karena menghasilkan emisi gas metan yang hanya dengan api rokok saja bisa menyulut kebakaran,” jelas Shinfi.
Selain berdampak pada pemanasan global, sampah oraganik yang membusuk juga dapat menyebabkakn eutrofikasi, yaitu pencemaran air oleh limbah fosfat. Dampak dari eutofikasi ini antara lain, yaitu rusaknya sumber mata air, rusaknya ekosistem air tawar, hingga kematian pada makhluk hidup yang menempati air yang telah tercemar tersebut.
Islam sendiri tidak pernah melarang umatnya untuk makan dan minum, namun tentu saja ada aturan dalam hal tersebut.
“Islam menyuruh kita makan dan minum tetapi jangan sampai berlebihan. Yang kita makan adalah apa yang dibutuhkan oleh tubuh kita bukan sekedar makan enak saja” tutur Sokhi Huda, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA).
Selain memamakan makanan yang baik, umat Islam hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan agar tidak menimbulkan perilaku israf. Perilaku israf tentu saja sangat tidak disukai dan apabila dilakukan pada bulan yang penuh kemuliaan ini maka tentu akan mengurangi pahala kita dalam berpuasa.
“Makanan itu diusahakan habis sesegara mungkin, karena ada pula makanan yang berisiko apabila dipanaskan. Namun apabila memang berlebih sebaiknya diberikan kepada saudara atau tetangga dekat,” imbuh laki-laki paruh baya tersebut. (may)