Fungsi Strategis Partisipan Dalam Aksi Mahasiswa
OPINI

Fungsi Strategis Partisipan Dalam Aksi Mahasiswa

Sejak memasuki Periode kedua Presiden Jokowi, mahasiswa sering melakukan aksi dan tindak sosial terhadap kebijakan publik. Dalam kurun waktu Sembilan bulan pemerintahan, sudah dilakukan dua aksi berskala besar untuk menuntut keadilan mengenai kebijakan publik. Bisa dibilang pada periode kali ini pemerintahan Jokowi gagal memenuhi ekspektasi masyarakat, mwlihat dari survei Alvara Research Center menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi di periode kedua justru menurun. Kali ini kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi hanya berada di angka 69,4 persen, Dibandingkan periode sebelumnya dengan tingkat kepuasan publik sebesar 77,2 persen maka periode kali ini mengalami penurunan.

Dalam situasi seperti ini, mungkin saja mahasisswa melakukan aksi dalam rangka untuk pemenuhan ekspektasi publik dan tagih janji. Namun dalam setiap aksi yang dilakukan belum bisa mencapai tujuan yang diinginkan, seperti halnya aksi untuk revisi UU KPK September lalu, tanggapan yang didapatkan hanya sebatas penundaan yang akhirnya disahkan. Mahasiswa memang memiliki sejarah oposisi terhadap pemerintah, yang kerap tampil dalam kompleksitas dinamika sosial-politik. Mungkin kita bisa melihat dari beberapa sejarah aksi mahasiswa yang telah tercapai tujuannya dan dapat berkaca pada hal tersebut.

Pada periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) para mahasiswa menghadapi pemerintah yang dinilai berhaluan kiri, banyak kelompok mahasiswa angkatan 1966 menuntut terhadap pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu partisipan yang membantu dalam demosntrasi kali ini adalah faksi militer yang sedang mengalami perpecahan, faksi militer juga mendorong tentara untuk membantu gerakan mahasiswa hingga mengakhiri kekuasaan Sukarno.

Kemudian, pada masa orde baru 1998,  gerakan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR untuk berdemonstrasi dengan tuntutan utama pemberantasan KKN oleh Soeharto dan kroni, penghapusan status Daerah Operasi Militer Aceh, Papua dan Timor Timur, penegakan supremasi hukum, dan penghapusan dwifungsi ABRI. Selain itu juga menuntut agar militer kembali ke markas, dan mendesak pembubaran Golkar. Dalam aksi ini mereka didukung oleh kaum intelek non-mahasiswa seperti Tjuk Sukiadi dkk di Surabaya, Ichlasul Amal dkk di Yogyakarta, dan kaum intelek non-mahasiswa di Jakarta, kemudian juga didukung oleh Adi Andojo dkk di Universitas Trisakti, hingga Rektor ITB Lilik Hendrajaya yang rumahnya sempat ditembak lantaran ikut membantu mahasiswa. Tentu saja juga sejumlah organisasi mahasiswa dari berbagai daerah.

Jika kita melihat dari sejarah aksi mahasiswa yang pernah dilakukan, dari setiap aksi tersebut memiliki partisipan yang kuat dan dominan dalam pemerintahan. Seperti halnya saat demokrasi terpimpin yang dibantu oleh faksi militer yang terpecah, kemudian pada aksi mahasiswa pada 1998 dibantu oleh banyak elemen organisasi dan non-organisasi, bahkan sampai tokoh dominan dalam masyarakat yang ikut dalam pemerintahan. Apabila dibandingkan dengan aksi mahasiswa kemarin, jelas terlihat bahwa aksi tersebut hanya didukung oleh organisasi mahasiswa dan masyarakat proletar, tidak ada unsur dari tokoh dominan dalam masyarakat.

Efektivitas aksi mahasiswa mahasiswa sebagai oposisi berjalan pararel dengan menguatnya oposisi dari pihak lain. Dalam artian ketika masyarakat dan beberapa tokoh dominan telah mengamini dan menyatakan sikap mengenai gagalnya pemerintahan kita bisa menjadikannya sebagai salah satu penguat oposisi. Sehingga dalam pelaksanaan aksi mahasiswa perlu mempertimbangkan seberapa besar impact yang didapatkan dari partisipan oposisi, termaksuk tokoh pendukung dalam aksi. Agar tujuan dapat tercapai dan keberhasilan aksi bisa dimaksimalkan.

*Fardan Zamakhsyari Mahasiswa Semester 6  Prodi Sistem Informasi UIN Sunan Ampel Surabaya

Post Comment