OPINI

Garda Terdepan Front Pendidikan

Oleh : Citra Putri Sari

Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika kita masih duduk dibangku Sekolah Dasar dan dengan berapi-apinya Guru Sejarah menjelaskan tentang perjuangan para pemuda dalam meraih kemerdekaan bangsa ini. Mereka menggalang masa dan membuat kekuatan yang dihimpun dalam sebuah naungan organisasi yang berlatarkan para darah muda, seperti Jong Java, Pemoeda Kaoem Betawi, dan masih banyak lagi. Gerakan kekuatan ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun hidup dalam naungan ketertindasan oleh Bangsa Belanda. Para pemuda negeri ini secara mati-matian berjuang dalam merebut hak-hak tanah miliknya yang banyak direnggut oleh negara lain.

Ketika kita menapak tilas sejarah, ternyata tidak sedikit perjuangan Para kaum muda untuk negeri ini. Begitu juga ketika kita berbicara mengenai pembangunan dan kemajuan disegala bidang, tentu tak lengkap jika tanpa melibatkan peran pemuda sebagai mitra dan pemangku kepentingan yang setara. Sebut saja pada ranah pendidikan. Para pemuda pun memiliki andil dalam membuat keputusan dan menentukan jalan akan dibawa kemana pendidikan Anak Bangsa ini. Karena selain penikmat fasilitas pendidikan, mereka nantinya juga akan menjadi sosok yang menentukan jalan terjal nasib pendidikan di negaranya sendiri.

Berbicara mengenai pendidikan, tentu sangat erat sekali kaitannya dengan sosok KI Hajar Dewantara. Peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada ini banyak memberikan sumbangsih pikiran dan pengorbanan untuk pendidikan di Negaranya, Indonesia. Sosok pejuang muda ini rela mengorbankan dirinya untuk dibui di Negara orang. Beliau secara mati-matian bejuang untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan tanpa  marginalisasi latar strata status anak didiknya. Seperti itulah perjuangan pemuda zaman dahulu. Lantas tidakkah terbesit difikiran kita, sumbangsih apa yang telah kita berikan untuk pendidikan di Negara kita?

Beberapa lembaga pendidikan di Negara kita ini telah banyak diperjual belikan oleh kaum kapitalis. Mahalnya biaya pendidikan adalah problem yang signifikan yang banyak menghambat tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tentu tak sedikit anak-anak bangsa yang tak memperoleh haknya untuk belajar di Bumi Pertiwinya sendiri. Mereka secara tak layak belajar tanpa adanya fasilitas yang memadai. Problematika semacam ini tentu bukanlah problematika yang main-main. Karena kelayakan sebuah lembaga pendidikan untuk anak bangsa tentu memberikan dampak yang besar terhadap kualitas dan kemajuan bangsa kita sendiri.

Ketidaklayakan sarana pendidikan tersebut bukan berarti pemerintah tidak memberikan anggaran khusus untuk keperluan pendidikan. Pada dasarnya anggaran tersebut telah dirancangkan secara khusus yang nantinya akan di alokasikan untuk perbaikan dan pengembangan pendidikan itu sendiri. Bahkan anggaran tersebut selalu mengalami peningkatan pada tiap tahunya. Hal tersebut terbukti pada jumlah anggaran pada tahun 2013-2014. Alokasi anggaran untuk pendidikan tersebut meningkat sekitar 7,5 persen. Perbandingan ini ditilik dari anggaran tahun lalu yang berkisar sebesar Rp 345,3 triliun, sedangkan tahun ini meningkat menjadi 371,2 triliun. Anggaran tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan mutu akses dan pemerataan pendidikan serta untuk mengakselerasi pembangunan sumber daya manusia. Untuk itu, berawal dari hal tersebut digalanglah program wajib belajar 9 tahun.

Namun harapan mulia Pemerintah seolah tak selaras dengan realita. Anggaran yang sebegitu besar seolah tak mampu memberikan solusi yang tepat untuk carut marutnya masalah pendidikan di Indonesia. Banyaknya lembaga pendidikan yang tak mampu memberikan kenyamanan kepada penghuninya seolah bukan lagi menjadi pemandangan yang mengherankan. Hal tersebut tentu dipicu oleh banyaknya tangan-tangan jahil dari beberapa lapisan yang menggerogoti sedikit demi sedikit anggaran tersebut untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka. Entah secara sadar atau tidak, sesungguhnya merekalah, para penguasa yang terlena dengan singgahsana kekuasaannya yang sebenarnya telah merenggut hak para anak bangsa untuk belajar secara layak.

Menanggapi problematika diatas, eksistensi para darah muda perlu dipertanyakan. Semestinya para pemuda ini menjadi garda terdepan yang memperjuangkan hak-hak anak bangsa untuk memperoleh pendidikan secara layak. Tidak sepatutnya para darah muda ini turut meramaikan problem pendidikan yang ada. Karena merekalah yang patut melucuti keserakahan-keserakahan pemimpin demi kemakmuran negara ini. Bagaimanupun juga semua harapan masyarakat tertanam di pundak-pundak para pemuda ini. Oleh sebab itu, remaja bukanlah satu fase yang pasti datang dan pergi dengan sia-sia. Namun suatu fase yang ada dan harus memberikan arti.

Beberapa langkah kongkrit yang dapat ditawarkan sebagai bentuk sumbangsih perwujudan pendidikan oleh generasi muda adalah dengan mendirikan rumah pendidikan informal. Hal ini dapat membendung dan sedikit mengatasi problem mahalnya biaya pendidikan. Selain itu pemuda harusnya mempergiat proses belajar yang dilaluinya. Karena bagaimanapun pemuda nantinya akan menjadi penguasa bangsa yang diharapkan mampu memperbaiki tatanan dan struktur Pendidikan di Negara Indonesia

Post Comment