Terdengar suara sahut menyahut suara dari dalam ruangan seluas 15 meter itu. Terlihat kurang lebih sekitar 20 orang berkumpul di dalamnya sambil duduk bersila. Usianya pun terlihat beragam. Dari yang tua hingga muda saling melantunkan Babad Tawangalun penuh kekhusyukan. Ruangan yang biasanya digunakan sebagai sanggar kebudayaan itu kini menjadi ruangan penuh penembang dengan ragam versi dan ragam daerah.
“Nggih monggo …,” terdengar sapaan pertama Nur Kumala (27) saat mempersilahkan reporter LPM Solidaritas masuk ke dalam ruangan.
Mala, begitulah ia disapa. Ia merupakan salah satu dari puluhan orang di dalam ruangan itu. Mereka semua adalah orang orang yang terlibat dalam pelantunan Babad Tawangalun.
Mala sendiri sudah terlibat sejak 2019 menjadi seorang pelantun. Ketika itu dirinya diminta oleh pengajar sekaligus penggagas acara pelantunan Babad Tawangalun, Wiwin Indirati untuk ikut di dalamnya.
“Sedikit flashback ya mas, dulu yang pertama saya diminta sama Bu Wiwin untuk mengikuti pelantunan Babad Tawangalun,” ujarnya.
Pelantunan Babad Tawangalun sendiri merupakan sebuah acara dengan tujuan preservasi budaya. Acara ini diprakarsai karena adanya polarisasi di tengah masyarakat akibat maraknya politik identitas. Biasanya, para tokoh lintas suku maupun agama menghadiri acara ini sebagai sebuah silaturahmi atas sejarah konflik Blambangan pada masa lalu.
Dari ajakan tersebut, ia mulai tertarik untuk ikut terjun dalam acara Babad Tawangalun. Ketertarikannya pada kesenian sebenarnya bukan hal baru. Sejak kecil, Mala sudah menyukai dunia seni. Tak berhenti sampai disitu, ketika SMP ia melanjutkan hobinya pada dunia seni dengan bernyanyi hingga kuliah.
“Kalau seni memang dari kecil aku suka, kemudian melanjutkan pada bidang tarik suara sejak SMP hingga saat ini,” lanjutnya.
Namun, ketertarikannya pada dunia seni sempat terhambat oleh orang tuanya yang kurang mendukung Mala pada hobinya. Namun berkat kerja kerasnya, ia mampu membuktikan bahwa dirinya memang sangat ingin terjun di dunia seni sehingga orang tuanya pun berbalik mendukungnya.
“Awal-awal memang tidak mendukung, namun semakin kesini semakin aku tunjukkan hasilnya seperti ini, akhirnya orang tuaku bisa mengerti dan menerima,” jelasnya.
Banyak hal luar biasa yang ia dapatkan dalam pelantunan Babad Tawangalun. Keunikan serta bagaimana Babad Tawangalun mampu mengakomodir berbagai etnis serta kultur budaya membuatnya begitu terkesan dalam acara tersebut.
Dibalik berbagai macam hal yang ia dapatkan di Babad Tawangalun, namun di satu sisi, ada pula tantangan yang harus dihadapi Mala. Seperti beradaptasi dengan teman yang juga membaca Babad Tawangalun dengan khas cengkok mereka.
“Kalau tantangan jelas ada, karena mocoan saja di satu lingkup Using itu kadang kita kebawa teman yang menembangkan tembang lain, apalagi yang lintas budaya, dari logatnya berbeda jadi harus kuat mental dan semuanya,” tuturnya.
Lain peserta, lain pula ceritanya. Welly Abdur Ridho (23), salah satu anak muda yang juga ikut dalam pelantunan Babad Tawangalun, mengatakan alasannya berkontribusi dalam pembacaan ini disebabkan keprihatinannya pada kawula muda yang saat ini tidak tahu mengenai nilai kearifan lokal dalam sebuah tembang. Sehingga, ia berinisatif serta termotivasi untuk mengetahui isi dari Babad Tawangalun yang terdapat bermacam macam nilai keberagaman di dalamnya.
“Jadi motivasi saya dulu bagaimana saya tahu isi cerita dari Babad Tawangalun. Saya lihat dari nilai yang ada di dalamnya. Seperti nilai sosial, nilai keberagamannya, nanti begitu ke daerah bisa diangkat kembali,” kata pria yang akrab disapa Welly tersebut.
Awalnya, ia hanya mengerti sedikit mengenai tembang. Namun, berkat sang kakek yang mengenalkannya membuat ia tertarik untuk mendalami hal tersebut. Welly sendiri merupakan pria asli Banyuwangi, Namun kakek serta leluhurnya merupakan orang Madura. Menurutnya, ada sedikit perbedaan antara pelantunan khas Madura atau disebut mamaca dengan pelantunan using atau mocoan.
Welly dibesarkan di keluarga yang menyukai seni. Kakeknya sejak jaman dahulu merupakan orang seni. Ketika kakeknya menembangkan ia merasa ada ‘kemerduan’ di dalamnya sehingga ia pun ikut ‘nimbrung’ bersama sang kakek.
Dari hal tersebut ia mulai aktif di kegiatan seni. Berbagai kegiatan serta kelompok kesenian pun ia ikuti. Seperti MLY serta pelantunan babad Tawangalun.
“Pandangan saya orang keturunan Madura tapi tinggal di Banyuwangi, saya juga menetap di Banyuwangi. Jadi nanti ketika saya keluar dari Banyuwangi terus ditanya apa yang ada di Banyuwangi ini tidak tahu kan saya malu,” pungkasnya.
Welly pun mengaku senang ketika ia mengikuti Babad Tawangalun. Menurutnya, Blambangan yang dulunya identik dengan orang using dan erat kaitannya dengan konflik antar etnis mampu disatukan melalui sebuah tembang yang dibacakan dalam berbagai versi.
Selain Mala dan Welly, ada juga beberapa anak muda yang terlibat dalam pelantunan Babad Tawangalun. Menurut Mala, keterlibatan anak muda dalam dunia kesenian seperti ini sangat penting. Hal ini disebabkan salah satu calon penerus sebuah kebudayaan adalah anak muda. Sehingga, anak muda harus terlibat secara langsung dalam sebuah kebudayaan.
“Keterlibatan anak muda dalam sebuah kebudayaan tentu sangat penting. Karena, pemegang tonggak estafet ibarat sebuah perjalanan itu anak muda, tidak mungkin berharap pada yang sudah tua,” ujar wanita kelahiran Banyuwangi tersebut.
Mengenal Babad Tawangalun
Menurut sumber, Babad Tawangalun merupakan sebuah naskah kuno yang menceritakan mengenai nenek moyang serta silisah raja raja Blambangan. Babad Tawangalun sendiri terdapat berbagai versi seperti bentuk macapatan atau prosa.
Dalam versinya yang berbentuk macapatan, di dalamnya menceritakan kerajaan Blambangan yang mengalami perebutan hegemoni, hingga zaman runtuhnya kerajaan Blambangan. Sedangkan, Babad Tawangalun yang berbentuk prosa berisikan aturan mengenai jumlah guru lagu dan guru wilangan.
Pada tahun 2017, Wiwin Indiarti, Anasrullah, dan Suhalik menginisasi sebuah acara dimana pada waktu itu sedang menguatnya politik identitas yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga, Pelantunan Babad Tawangalun melalui berbagai ragam seperti Bali dengan cara (mabasa), Jawa (mocopatan), Madura (mamaca), dan juga Using dengan cara (mocoan) dinilai selaras karena dalam Babad Tawangalun sendiri erat kaitannya dengan sejarah kerajaan blambangan yang terlibat konflik pada masa lalu.
Acara ini biasanya dimulai sejak sore hingga malam hari. Babad Tawangalun sendiri diselenggarakan di bulan Desember bertepatan dengan hari ulang tahun Banyuwangi.
“Dilaksanakan di bulan Desember karena bertepatan dengan bulan kelahiran Banyuwangi, jadi untuk merayakan hari ulang tahun Banyuwangi yang dulunya dibentuk oleh keberagaman etnis,” Tutur Wiwin ketika dihubungi via VideoCall Whatsapp.
Dipilihnya seni sebagai salah satu media dalam menyatukan heterogennya masyarakat banyuwangi juga bukan tanpa alasan. Menurut wiwin, seni merupakan salah satu media yang mampu mencairkan suasana keberagaman di daerah tersebut.
“Memilih seni karena seni bisa merekatkan yang berbeda itu tadi, tidak perlu menjelek jelekkan pihak lain, tidak perlu juga mengunggul unggulkan kelompok etnis lain, kekuatan kita itu justru dari perbedaan itu,” ujarnya.
Wiwin menambahkan, regenerasi kaum muda dalam upaya preservasi budaya seperti ini sangatlah penting. Berbagai upaya juga telah ia lakukan. Salah satunya ialah mengajarkannya pada sekolah adat sehingga generasi muda juga dapat membaca tembang.
“Kami juga punya resolusi pada tahun 2020 Millenial Lontar Yusup jilid satu harus bisa baca tembang. Kami juga buatkan versi digitalnya, jadi mereka memakai HP masing masing sudah bisa latihan sendiri untuk membaca tembang, agar variasi tembang nya benar benar paham dan jejeg,” tandasnya.
Welly berharap, anak muda saat ini mau untuk mempelajari apa yang sudah diajarkan oleh leluhurnya. Karena nilai nilai dalam sebuah naskah tidak akan tergerus oleh jaman.
“Harapan saya bagi anak muda bolehlah kita meninggalkan apa yang leluhur kita bawa dari dulu, tapi tidak kita lupakan seluruhnya. Serta kita mau mempelajari kembali apa yang ada di dalam Babad Tawangalun. Karena nilai nilai yang ada dalam naskah akan muncul kembali,” tandasnya.
Berbeda dengan Welly, Mala lebih menekankan anak muda saat ini dapat konsisten dalam menekuni tembang yang sedang ia pelajari serta lebih berperan dalam hal kebudayaan seperti ini.
“Pertama, anak muda harus konsisten tentang tembang yang ia pelajari, karena setelah ia mampu nanti jangkauan nya lebih luas. Serta anak muda perlu meningkatkan kontribusi mereka karena merekalah yang akan memegang estafet kebudayaan,” tegasnya.
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.