Gengsi Anak Zaman Sekarang
OPINI

Gengsi Anak Zaman Sekarang

Oleh : Aleisandra El Fajri

            Masih ingat kisah Chairul Tanjung yang dahulu sekuat tenaga berusaha membiayai kebutuhan kuliahnya sendiri setelah mengetahui ibunya menjual kain halus demi ia dapat bersekolah tinggi? Tidak lupakah pula kisah Dahlan Iskan yang tetap nyeker dan nentheng sepatunya ke sekolah agar awet? Kemudian tahukah kisah Gus Dur yang rela menjadi tukang bersih-bersih kapal demi sampai berkuliah ke luar negeri?

Mereka semua adalah contoh orang-orang sukses yang dahulunya juga pernah menjadi pemuda. Masa muda mereka tidak dihabiskan dengan foya-foya. Chairul Tanjung dan Dahlan Iskan sejak kecil hidup dalam keterbatasan namun pekerja keras. Sedikit berbeda dengan Gus Dur yang satu tingkat lebih beruntung perekonomian keluarganya dibandingkan dua tokoh sebelumnya, ia terlahir dari kalangan keluarga pemilik pesantren dan berdarah biru. Meskipun kehidupan Gus Dur dari kecil terbilang berkecukupan, tak lantas membuatnya bermalas-malasan. Bahkan saat baru menikah pun ia memiliki pekerjaan sampingan berjualan camilan kacang dan es lilin. Tidak gengsi kah cucu seorang kiai besar dan lulusan luar negeri berjualan kecil-kecilan seperti itu?

Itulah pembeda antara pemuda zaman dahulu yang kini sudah diamini kesuksesannya dengan pemuda zaman sekarang yang masih belum tentu masa depannya. Masih belum tentu masa depannya, akankah jadi oarang besar, jadi orang biasa-biasa saja, ataukah malah jadi orang terpinggirkan, tetapi sudah banyak berkilah. Kalau sudah banyak berkilah, mau melakukan ini – itu untuk kemajuan diri, alasannya malu. Padahal malu adalah keengganan ketika berbuat salah atau tidak terpuji, sedangkan gengsi adalah keengganan ketika berbuat baik karena takut diremehkan, takut dijauhi, atau bahasa anak sekarang – takut dibilang ngga’ gaul gitu..

Lihatlah Chairul Tnjung si Anak Singkong dengan kesuksesannya menjadi pengusaha media televisi (Trans Corp), pusat perbelanjaan (Carefour), dan sebagainya. Dahlan Iskan dengan kesuksesannya sebagai Raja Media Cetak (Jawa Pos Group) dan menteri BUMN. Gus Dur dengan kesuksesannya sebagai presiden RI ke 4 dan ulama’ sekaligus guru besar. Nama mereka akan selalu terkenang dan tercatat dalam sejarah. Perjalanan hidup mereka akan senantiasa terukir dalam buku biografi orang-orang besar di Indonesia bahkan dunia. Sekali lagi, tak ada pernyataan yang menjelaskan masa muda mereka dihabiskan dengan keterlenaan berfoya-foya.

Tidak menampik bahwa masih banyak pemuda zaman sekarang yang pekerja keras, akan tetapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan yang bermalas-malasan. Saksikan saja, berapa banyak pemuda yang bergabung dalam majelis ilmu dibandingkan dengan mereka yang bergabung dalam sebuah konser musik? Berapa banyak pemuda yang sibuk belajar atau membantu pekerjaan orang tua dibandingkan dengan mereka yang sibuk ngobrol tak bermanfaat sambil nyangkruk di pinggir jalan ataupun di warung kopi? Berapa banyak pemuda yang berkarya dibandingkan mereka yang berbuat ulah? Sudah bisakah kita sebagai pemuda ‘melek’?

Pemuda zaman sekarang cenderung berkarakteristik pemalas, lemah kecerdasan emosional dan intelektualnya, suka mengaktualiasi diri dengan banyak teman untuk hal minim manfaat, ditambah lagi gengsi setinggi langit. Gengsi belajar mandiri, gengsi memulai dari nol, gengsi turun “derajat” demi pembelajaran hidup, gengsi menjadi pemuda penurut, serta banyak model gengsi lainnya. Saya jadi teringat pemuda yang masih tetangga satu desa saya di kecamatan Jumputrejo, Kabupaten Sidoarjo. Sebutlah seorang pemuda namanya Agil. Ketika baru lulus sekolah menengah atas, dia langsung meminta orang tuanya mendaftarkan dirinya untuk mengikuti seleksi menjadi polisi. Berkali-kali mendaftar, mengikuti tes, dan mengeluarkan uang sangat banyak, tetap saja ia tidak keterima. Hingga harta benda orang tuanya hampir habis. Uang tabungan puluhan juta terkeruk habis, mobil pun lenyap tak berbekas. Orang tua dari pemuda yang nganggur hampir 3 tahun itu merasa frustasi. Beruntung masih ada tanah sawah untuk masa depan. Andaikan Agil tidak mau bekerja dan tetap memaksa untuk ikut mendaftar tes menjadi polisi lagi, entahlah apa yang terjadi pada tanah sawah orang tuanya itu.

Pengalaman yang dialami tetangga saya itu tidak hanya terjadi pada satu-dua keluarga saja. Ada ribuan atau bahkan jutaan keluarga se Indonesia yang mengalami nasib serupa. Begitu pun salah seorang audien bertanya kepada kandidat capres Prabowo Subianto pada saat kampanye di sebuah stasiun televisi swasta. Ia bertanya, mengapa mendaftarkan diri hingga mengikuti tes menjadi TNI membutuhkan biaya yang sangat mahal. Prabowo Subianto pun menjawab dengan normatif bahwa sesungguhnya biaya untuk mengikuti pendaftaran menjadi TNI sangat murah, jika tidak salah, ia menyebutkan bilangannya hanya ratusan ribu rupiah. Lalu darimana asalnya tarif mengikuti seleksi untuk menjadi penegak hukum dan tentara Indonesia begitu tinggi? Sudah menjadi rahasia umum, ada mafia di dalamnya. Masyarakat negera ini pun dengan polosnya mau saja dibodohi. Jelas-jelas dibodohi, tapi masih saja mau menjalani. Coba pemuda secara serentak membuat kesepakatan prinsip tidak mau mendaftar seleksi untuk menjadi polisi ataupun TNI jika masih ada politik uang sehingga pihak penyeleksi kesulitan mencari pendaftar, dengan begitu negara akan sadar dan bertindak.

Kemalangan akan dirasakan oleh keluarga- keluarga yang di dalam rumah mereka memiliki pemuda berpikiran cupet, alias ngga’ update. Di sekitar mereka banyak orang sukses dan orang besar berawal dari hal remeh dan kecil. Choirul Tanjung memulai bisnis dengan cara menawarkan ke teman-temannya agar menitipkan jasa fotokopi kepadanya. Bukan berarti ia memiliki toko mentereng yang di dalamnya ada mesin fotokopi, tapi pengusaha sukses itu hanya sebagai perantara. Dari awalnya ia mendapat uang Rp.15.000 sekali jalan, akhirnya terus meningkat pendapatannya karena ia terus berusaha mencari tempat fotokopi dengan harga lebih murah. Dari orang terkaya nomor 3 se Indonesia itu, kita dapat belajar kreatif melihat peluang dan memperluas jaringan. Hanya berdiam diri di rumah tanpa aksi, dengan harapan harta orang tua bisa mewujudkan ambisi, justru akan mematikan kretaifitas diri. Sedangkan dari kisah sepatu Dahlan Iskan, kita mendapat pelajaran untuk menghargai dan mengelola harta yang diberikan Tuhan. Dari Gus Dur, kita mendapat pelajaran bahwa seseorang tidak semata dipandang dari garis keturunannya, melainkan dari buah hasil amal perbuatannya.

Jika ambisi sudah dicoba berkali-kali dan tidak tercapai, seharusnya sadar diri. Mungkin Tuhan memang tidak sependapat dengan ambisi kita. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang besar bagi diri kita dari jalan yang lain. Merenung, bermuhasabah diri, menemukan jati diri dan potensi, merencanakan, kemudian mencoba dari hal sederhana terlebih dahulu. Jika sudah melewati tahap itu, belajar dari yang sudah dilakukan, evaluasi, dan perbaikan ke depan, justru proses alam itulah yang akan semakin menguatkan mental pemuda untuk menjadi yang terbaik. Pemuda zaman sekarang harus mementingakn proses daripada hasil instan, mengingat persaingan global semakin kuat, mau tidak mau tetap dirasakan.

Perlu ditekankan lagi bahwa kesuksesan akan bisa diraih kepada siapa saja yang berjiwa besar dan menghargai proses dalam kehidupannya. Kesuksesan tidak hanya bernilai besaran materi, tetapi juga ketenangan jiwa dan kesehatan ruhani. Materi adalah kebutuhan hidup yang memang wajib diusahakan seperti sabda Nabi Muhammad SAW, bekerjalah kamu seakan-akan hidup selama-lamanya. Lebih dari itu semua, kesuksesan sejatinya kebermanfaatan diri kita untuk sesama. Mulai sekarang, tinggalkan gengsi sebagai musuh terbesar kita! Tolak cara-cara instan untuk memuluskan ambisi diri! Coba hitung, andai semua uang pemuda yang dikeluarkan untuk menyogok para penguasa dikumpulkan, mungkin sudah ada ribuan usaha yang tumbuh, tercipta ruang pekerjaan yang luas sehingga membantu negara mengentas pengangguran dan kemiskinan, juga sekaligus menutup celah korupsi. Pikirkan hal itu.

PROFIL PENULIS

  • Abdul Jalil, Mahasiswa Sastra Inggris, Manajer HRD periode 2014.
  • Ahmad Farid, Mahasiswa Sastra Inggris, Crew periode 2014.
  • Aleisandra El Fajri, Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Pemimpin Redaksi periode 2014
  • Ali, Mahasiswa , Pimpinan Umum LPM Solidaritas periode 2013.
  • Annisa Fauziah, Mahasiswi Pendidikan Matematika, crew periode 2014.
  • Anifatul Jannah, Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Pimpinan Umum periode 2014.

Blog : aljannahanifa.blogspot.com

  • Ayis Nuzul Maulidah, Mahasiswi Ilmu Komunikasi. Devisi Penelitian dan Pengembangan, periode 2014.
  • Citra Putri Sari, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab, crew periode 2014.
  • Fawaid, Mahasiswa Politik Islam, anggota Redaksi 2014.
  • Fathur Rohman, Mahasiswa Siyasah Jinayah, Manajer Perusahaan periode 2014.
  • Nur Aini, Mahasiswi Pendidikan Matematika, Sekretaris Umum periode 2014.
  • Nuril Maulidiyah, Mahasiswi Sastra Inggris , Crew periode 2014.
  • Rofi’atul Azizah, Mahasiswi Sastra Inggris , Crew periode 2014.
  • Siti Fatimatuz Zahro. Mahasiswi Psikologi, crew periode 2014.
  • Ursilawati, Mahasiswi Bimbingan Konseling Islam, crew periode 2014.
  • Yenik Wahyu Ningsih, Mahasiswi Kependidikan Islam, anggota Redaksi 2014

Post Comment