MediaSolidaritas.com – Sedalam apapun bangkai dikubur, pasti akan tercium juga. Seperti halnya dengan isu penjajahan Israel terhadap Palestina yang kembali meruak ke permukaan hingga menggemparkan masyarakat dunia dan menimbulkan respons dari berbagai pihak.
Salah satunya yakni Afrika Selatan yang tak ingin tinggal diam. Bukan lagi penjajahan, Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) dengan gugatan genosida terhadap Palestina.
Perlu diketahui bahwa masyarakat dunia (termasuk Indonesia) sudah banyak yang secara terbuka mendukung kemerdekaan Palestina dan tak segan mengutuk tindakan Israel, meskipun negara palsu buatan barat itu dilindungi oleh segelintir orang (petinggi) Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Warga Amerika sendiri banyak yang melayangkan protes kepada pemerintah mereka karena menggunakan pajak negara demi menyokong aksi Israel, tetapi para penguasa tersebut tidak menghiraukannya.
Tercatat, Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri (PM) Inggris Rishi Sunak, PM Kanada Justin Trudeau, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz tetap menjadi sanak saudara Israel dalam upaya pencurian, penjajahan, hingga penguasaan atas tanah milik bangsa Palestina.
Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menggugat Israel pada 11-12 Januari 2024 dengan didukung oleh beberapa negara, seperti Turki, Malaysia, Lebanon, Maladewa, dan negara lainnya. Secara hukum, Indonesia sendiri tidak bisa mendukung gugatan tersebut karena bukan menjadi Negara Pihak yang menandatangani Konvensi Genosida yang menjadi dasar tuntutan. Akan tetapi, juru bicara menteri luar negeri (jubir menlu) RI Muhammad Iqbal menyampaikan bahwa Indonesia akan membuat pernyataan lisan (advisory opinion) pada hari pembukaan sidang ICJ di Den Haag pada 19 Februari 2024 mendatang. Lantas, apakah itu sudah cukup?
Langkah Afrika Selatan menggugat Israel tidak hanya menjadi bukti keberpihakan mereka pada Palestina, tetapi juga seolah menjadi tamparan keras bagi negara Islam di dunia yang bertindak lamban dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Meskipun Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab sudah menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang berakhir pada 11 November 2023 tentang serangan Israel terhadap Palestina. Akan tetapi, hingga kini, terbukti hanya (milisi Houthi) Yaman yang melakukan aksi secara langsung di lapangan, yakni dengan menyerang kapal-kapal yang berhubungan dengan Israel di Laut Merah.
Sebelum berbicara tentang peran Indonesia, sejak dahulu negara ini sudah dibentuk menjadi negara yang cinta damai dan menolak keras penjajahan di dunia, seperti yang tertulis dalam naskah dasar konstitusinya. Bangga rasanya jika hal tersebut benar-benar terealisasikan, seperti saat Indonesia menjadi salah satu pelopor Gerakan Non-Blok (GNB) di masa Perang Dingin dan siapnya tentara kita saat diminta menyelesaikan tugas perdamaian dunia dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan negara ini merdeka bukan hanya untuk penduduknya sendiri, tetapi untuk semua bangsa.
Indonesia juga dapat diidentikkan dengan keberagamannya baik budaya, suku, maupun alam. Selain memiliki jumlah penduduk yang besar, Indonesia pun mendapatkan predikat sebagai negara dengan populasi muslim terbesar pertama di dunia oleh World Population Review tahun 2021. Fakta ini seolah semakin menambah citra Indonesia di antara negara lain. Terlebih menurut histori, masuknya Islam ke negara ini tak pernah melalui jalur kekerasan.
Dengan adanya penyerangan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, Indonesia senantiasa berpihak kepada Palestina sejak dulu. Indonesia tahu betul Israel didukung oleh mereka para superpower, tapi bravo! Dukungan Indonesia bagi Palestina tetap bertahan hingga kini. Aksi pembalasan penjajahan atas bangsa Palestina yang dicetuskan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu membuka mata dunia tentang kekejian Israel.
Beberapa hal yang sudah dilakukan bangsa ini untuk membela Palestina selain melalui meja diplomasi, yakni ada gerakan boikot, aksi julid online pada pasukan Israel dan dukungan pada Palestina melalui media sosial, kajian keilmuan tentang Palestina, dan bantuan logistik atau kemanusiaan.
Terpantau sampai saat ini, bantuan yang diberikan Indonesia rasanya sudah cukup, padahal belum maksimal. Bantuan-bantuan tersebut sifatnya masih tentatif. Jika dibayangkan, ketika kita melihat seseorang yang terlampau kurus, belum makan tiga hari. Lantas, ia mengerang kesakitan sebab kakinya tertimpa pohon. Antara memberikan sebungkus roti dan mengobati lukanya, manakah tindakan yang tepat untuk menolong orang tersebut? Sangat disayangkan, Indonesia dan kebanyakan negara lain memilih untuk memberi Palestina sebungkus roti, alih-alih mengobati lukanya hingga sembuh.
Banyak dari pemimpin bangsa yang pulang dari rapat besar, berdiskusi tentang isu Palestina, lalu membawa hasil berupa kecaman terhadap Israel. Namun, apakah dengan kecaman itu sudah cukup untuk menghentikan darah warga Palestina yang masih menetes deras hingga tulisan ini dibaca? Di tengah tertidurnya bangsa Arab dan terlampau munafiknya organisasi dunia, apakah Indonesia tetap memberikan solusi tentatif seperti ini saja?
Jusuf Kalla pernah menyampaikan bahwa Indonesia sulit membantu Palestina secara militer sebab jauhnya jarak dan kondisi militer yang dinilai masih belum sebanding dengan musuh. Pernyataan ini memang benar adanya, tapi tidak berlaku selamanya. Sama halnya dengan langkah Afrika Selatan yang menyeret Israel ke ICJ yang mana ICJ sendiri satu lingkup keluarga dengan PBB dan Amerika Serikat. Yup, fakta ini seolah sudah memuakkan sebab mereka justru sobat karib Israel sendiri.
Genosida yang terjadi di Palestina tidak hanya dapat dikaitkan dari segi politik, agama, dan kemanusiaan. Justru lebih dari itu! Bukankah kita ingat bahwa “kemajuan” Amerika Serikat dan negara Barat adalah panutan kita dalam kehidupan sehari-hari?
Lantas, alih-alih melawan dengan tindakan yang tegas dan maksimal, akankah Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia tetap tunduk kepada para tuan demokrasi yang sedang menjilat ludahnya sendiri?
Penulis: Vrisca Sheilla R.B
Editor: Istiana Agus Saputri