Judul: Orang Muda untuk Perdamaian
Penulis: Fatimah Zahrah dan M. Ahsan Ridhoi
Penerbit: Wahid Foundation
Tebal buku: 12,8 x 19,7 cm, 156 Halaman
ISBN: 978-602-7891-06-7
Tahun terbit: Cetakan pertama, April 2017
Peresensi: Syamsul Ma’arif*
Semua akan damai pada waktunya hanya sebuah omong kosong, jika tidak bisa berdamai dengan pikiran sendiri, orang lain, dan mendamaikan lingkungan sekitar
Berbicara lebih panjang lagi tentang perdamaian yang diseru-serukan tiap detik, menit dan tiap harinya semakin memiliki wajah berbeda. Damai yang diagung-agungkan dengan jalan kesatuan pemahaman adalah cerita lama yang kotor. Walaupun kotor, tapi masih saja konteks perdamaian dicuci dengan cara demikian. Damai dalam persatuan, damai dalam kesepahaman, damai dalam jalan yang sama; setara. Mayoritas masih berpikiran demikian.
Miris. Lebih miris lagi, jika perdamaian masih dicuci dengan cara kotor tersebut. Apakah cara tersebut salah? Tidak, tidak ada cara yang salah dalam membentuk perdamaian, sekalipun itu dengan cara perang. Akan tetapi cara tersebut masih belum benar. Membaca “Orang Muda untuk Perdamaian” saya menjadi bingung harus memulainya dari mana. Lembar pertama hingga terakhir semuanya menjadi poin penting. Semua aktor di dalamnya adalah korban dari kesalah pahaman.
Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke adalah satu-kesatuan yang tidak bisa didamaikan dengan kesatuan pemikiran. Apalagi membawa nama agama, bahkan akhir-akhir ini ada oknum yang ingin menjadikan Indonesia Khilafah; mustahil.
Indonesia bukanlah bibit yang tumbuh dari buah yang namanya “Arab”. Indonesia, ya, Indonesia. Memang, menjadi golongan minoritas yang hidup di tengah golongan mayoritas bukanlah perkara mudah. Cibiran, makian, larangan dalam bentuk apapun dari golongan mayoritas seringkali dihunuskan di depan wajah minoritas.
Sialnya, prosedural administrasi negara pun disangkut pautkan. Tidak mendapatkan KTP-el (Kartu Tanda Penduduk Elektronik), misalnya. Padahal KTP merupakan tanda bukti sah, bahwa mereka bagian dari warga Indonesia. Entah sejak kapan pengecualian menjadi warga Indonesia lantaran beda aliran ini diterapkan. Tidak masuk akal. Itu bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan pahit sendiri yang dialami oleh Aulia Fauziyah dan warga muslim Ahmadi Manislor. Pelbagai cara sudah dilaluinya. Pada akhirnya “Pemda Kuningan tetap tak menerbitkan kartu identitas elektronik untuk Aulia dan warga muslim Ahmadi di Manislor” (halaman: 55).
Negara kita bersih, tapi orang-orangnya yang belum. Negara kita sudah terlalu jujur menjamin hak-hak setiap warga negaranya tanpa pandang dia Ahmadiyah, Syi’ah, Kristen Jawi Wetan, atau pun keturunan Cina. Tapi, orang-orang yang menjalankan negara ini perlu dijujurkan kembali dalam menjamin hak warganya. Negara kita terlalu luas untuk dijadikan tempat berdiamnya satu golongan, tapi orang-orang di dalamnya terlalu sempit untuk menerima perbedaan.
Minoritas masih menjadi ‘minus 15’ dari pandangan mata. Dipandang semu, haknya bukan lagi sebagai warga negara Indonesia. Lebih tepatnya menggunakan kacamata kuda lebih jelas daripada melihat dengan mata telanjang. Terusir dari tanah kelahirannya, digusur, masjid dibakar sudah menjadi makanan pokok.
Pelakunya pun merasa, diri dan sekawanannya – karena tidak mungkin orang melakukan tindakan itu sendirian tanpa ada kawanan di belakangnya – paling benar. Padahal dengan cara membakar, mengusir orang dari tanah kelahirannya sendiri, bahkan membakar masjid, bukanlah perkara benar. Mereka (pelaku; red) sudah terlalu mengerti sebuah perkara, akan tetapi masih belum tahu. Mereka pandai, tapi masih perlu diarahkan. Nahas, lagi-lagi mereka terlalu ‘tinggi’untuk diluruskan. “Mereka membenci karena tidak paham,” ucap Gugun Abdul Mugni (halaman 79)
Kalau ingin tahu tentang Indonesia, beginilah keadaannya. Bahkan tulisan ini terlalu pesimis memprediksi nasib Indonesia beberapa tahun mendatang dan nasib para minoritas. Pola pikir kita terlalu liberal untuk diterapkan di Indonesia. Indonesia tidak akan pernah damai. Dalam segi apapun, jika batas pemahaman hanya di depan pintu dan menganggap semua yang tidak sama adalah salah. Yang minoritas semakin tersudutkan. “Mereka sakit, kita juga ikut sakit” bukan lagi jargon pas untuk digaungkan di depan masyarakat luas. Tidak pantas. Malu.
Saya masih cukup heran ketika Puntadewa (salah satu tokoh suci umat Hindu) dijadikan tokoh pewayangan dan dipentaskan dengan judul “Puntadewa Gagal Masuk Surga” tidak ada satu pun umat Hindu yang demo dan mengeroyoki Sunan Kalijaga. Padahal umat Islam waktu itu masih sedikit. Ya, kalau mau, bisa saja mengatasnamakan penistaan agama atau dikarang dengan baik alasannya. Walhasil, tidak ada satu pun yang demo, apalagi sampai bawa spanduk “Penistaan Agama”. Ah, paling nilai seni di Indonesia sudah merosot tajam sejak beberapa ratus tahun silam, hingga lupa cara mencapai kedamaian bisa dilakukan sesederhana ini.
Marilah rangkul kembali para minoritas. Ketika yang tua sudah tidak mau lagi terbuka untuk melihat minoritas karena terlalu banyaknya alasan, kita yang masih muda lah harus membuka mata. Sebagai pemuda milenial, sebagai kunci utama pembangunan bangsa, bukan lagi masanya mengkerucutkan perbedaan menjadi sebuah kesalahan.
Membaca kembali “Orang Muda untuk Perdamaian” seakan-akan kita membuka mata lebih luas, memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tidak perlu khawatir, buku ini sudah memanjakan para pembaca sejak melihat covernya. Dibumbui gambar, kartun, dan warna akan semakin memikat hati. Segi bahasanya yang gurih, menggenapkan kualitas buku ini.
Dengan membaca buku ini juga mengingatkan, bahwa kaum muda harus tahu kejadian sebenarnya tidak sesederhana memberi label “kafir” terhadap mereka. Menilai lebih benar. Memahami lebih bijaksana. Menghargai tanpa harus mencaci. Karena perdamaian mahal harganya, dan tak bisa digadaikan dengan apapun. Kita ingin damai, mereka pun begitu.
Selamat Membaca!
*) Mahasiswa Sistem Informasi angkatan 2016, saat ini sedang mengabdi di LPM Solidaritas