MediaSolidaritas.com – Para mahasiswa di berbagai universitas di Jawa Timur lakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur pada Senin, 17 Februari 2025. Aksi itu merupakan tindak lanjut dari konsolidasi yang digelar di Kampus B Universitas Airlangga pada hari Minggu (16/2) lalu. Total ada 10 tuntutan yang disuarakan mahasiswa dalam aksi tersebut.
Belakangan ini, tagar #DaruratPendidikan dan #IndonesiaGelap mencuat di berbagai platform media sosial. Tagar tersebut menjadi trending topic karena keresahan dan amarah masyarakat terhadap 100 hari kinerja kabinet Prabowo-Gibran menimbulkan banyak polemik kebijakan yang membuat mereka sengsara.
Melihat hal itu, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEMSI) wilayah Jawa Timur berinisiasi untuk mengadakan konsolidasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan mahasiswa. Mereka melakukan konsolidasi dan technical meeting di Kampus B UNAIR pada Minggu (16/2). Konsolidasi itu dilakukan untuk aksi bertajuk Jatim Menggugat yang dilaksanakan pada keesokan harinya.
Wendy Septian selaku Kepala Kementrian Kajian Aksi Strategis (Kastrat) dari Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) mengatakan bahwa kajian telah dilakukan di berbagai universitas sejak seminggu sebelum konsolidasi dilakukan di UNAIR.
“Mulai dari minggu kemarin sampai sekarang sudah 3 kali (konsolidasi, red). Namun, untuk kajian diserahkan ke kampus masing-masing. Jadi, waktu konsolidasi kita mengungkapkan dan mengumpulkan apa hasil dari kajian setiap universitas tadi,” ujar Wendy.
Selain sebagai kastrat, Wendy juga bertugas sebagai Koordinator Lapangan (korlap) dalam aksi Jatim Menggugat. Ia turut mengajak puluhan mahasiswa UINSA untuk mengawal aksi ini. Agar massa terkoordinasi dengan baik, mereka diberi kajian per fakultas.
“Kita komunikasikan per fakultas untuk mengakomodir massa. Jadi, setiap fakultas kita ada namanya koordinator di DEMA-U dan DEMA-F,” imbuh Wendy.
Setelah konsolidasi yang intensif, aksi demonstrasi di depan Kantor DPRD Jawa Timur pun digelar. Aksi ini menuntut aspirasi yang telah disampaikan dapat diteruskan ke pemerintah pusat. Pernyataan sikap yang dinyatakan Aliansi Jatim Menggugat menuntut 10 evaluasi kebijakan pemerintah sekarang. Mulai dari penolakan efisiensi anggaran pendidikan hingga penghapusan multifungsi TNI/POLRI dalam sektor sipil.

Ketua DPRD Jatim mendatangi para demonstran setelah mereka berorasi selama beberapa jam. Setibanya di lokasi, mahasiswa langsung meminta Musyafak naik ke mobil komando untuk menandatangani dan membacakan surat tuntutan.
Kehadirannya yang terlambat dan sikapnya yang dianggap acuh tak acuh memicu kekecewaan di kalangan peserta aksi. Mereka merasa tuntutan mereka tidak mendapat perhatian serius, terutama ketika Musyafak hanya menandatangani surat tuntutan tanpa memberikan langkah konkret untuk menindaklanjuti aspirasi yang mereka sampaikan.
“Ya tadi kita kan sudah orasi ya selama kurang lebih tiga jam dan pimpinan propos itu beralasan bahwasanya DPRD tidak ada dan ada di Jombang. Kemudian, Ketua DPRD tiba-tiba datang terus acuh tak acuh kayak tidak menanggapi poin-poin yang kita sampaikan seperti itu,” ungkap Wendy yang juga menjadi peserta aksi.
Wendy menekankan bahwa para demonstran ingin memastikan tuntutan mereka sampai ke pemerintah pusat, bukan hanya jadi formalitas. Saat diminta menghubungi pejabat pusat untuk menyampaikan tuntutan, Musyafak memberikan alasan tak masuk akal.
“Enggak duwe (enggak punya), demi Allah,” ujarnya, mengaku tidak memiliki kontak untuk menghubungi anggota DPR RI atau Presiden.
Pernyataan ini semakin memperburuk situasi karena mahasiswa merasa bahwa seorang Ketua DPRD seharusnya lebih siap dan memiliki saluran komunikasi yang jelas untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
Tanpa ada kepastian lebih lanjut, Musyafak meninggalkan lokasi, sementara DPRD hanya mengunggah dokumentasi aksi di media sosial tanpa ada tindak lanjut yang jelas.
Suasana semakin menegangkan ketika massa mencoba menerobos pagar kawat berduri. Aparat keamanan yang melihat situasi tidak kondusif langsung menurunkan pasukan pengendalian massa dan menggunakan water cannon untuk membubarkan kerumunan. Tindakan ini mengakibatkan protes yang lebih keras dari mahasiswa karena merasa diperlakukan secara represif.
“Kami datang untuk menyampaikan aspirasi, bukan untuk membuat kekacauan. Tapi justru kami dihadapkan dengan pagar kawat, pasukan bersenjata lengkap, dan bahkan water cannon. Ini bukan cara yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi mahasiswa yang hanya ingin didengar,” kata Hamas Firdaus, salah satu peserta aksi dalam akhir wawancara.
Reporter: Ahmad Muharrik Albirra & Bima Satrya Agnas Basid
Editor: Nurlaily Zuhrah