Kemiskinan Struktural di Indonesia, Benarkah Memang Dipelihara?
Ilustrasi.
OPINI

Kemiskinan Struktural di Indonesia, Benarkah Memang Dipelihara?

MediaSolidaritas.com – Indonesia masih dihadapkan oleh permasalahan sosial yang begitu besar, yaitu kemiskinan. Permasalahan ini merupakan sebuah masalah krusial yang banyak dihadapi di berbagai negara.

Dilansir dari CNBC Indonesia, jumlah angka kemiskinan di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2023 tingkat kemiskinan mencapai 9,36% atau 25,9 juta orang yang mengalami kemiskinan. Hal ini jauh lebih menurun sekitar 0,46 juta jika dibandingkan pada bulan September 2022 dan 0,26 juta pada bulan Maret 2022.

Walaupun data statistik menunjukkan penurunan, isu sosial ini menjadi PR yang begitu besar bagi pemerintah jika tidak ditangani dengan baik. Alih-alih mewariskan warisan ke anak cucu, mereka lebih mewariskan kemiskinan ke turunan mereka.

Kemiskinan struktural bukan sebuah permasalahan yang muncul begitu saja, masyarakat Indonesia masih banyak yang terjebak dalam pusaran kemiskinan struktural. Ketidaksetaraan ekonomi serta ketimpangan akses adalah hal utama yang mendorong adanya kemiskinan struktural ini.

Faktanya, dari wilayah satu ke wilayah lainnya pendapatan per kapita masyarakat sudah berbeda walaupun wilayah tersebut menempati satu provinsi yang sama. Di sisi lain, ketimpangan akses juga menjadi penyebabnya.

Setiap daerah memiliki sumber daya yang melimpah namun mayarakat tidak memiliki akses yang mumpuni untuk mengolah sumber daya mereka sendiri sehingga sumber daya tersebut dikreasi oleh orang-orang yang berkuasa dan kaya. Inilah mengapa sebuah pepatah yang mengatakan yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin masih relevan di Indonesia.

Bertahan dalam sebuah stigma yang mengatakan keadaan ekonomi sudah ditentukan sejak lahir dan tidak dapat dirubah dengan cara apapun dapat membatasi motivasi di dalam diri, seolah-olah terlahir miskin adalah sebuah takdir yang kekal dan tidak ada kesempatan untuk mengubahnya.

Namun, apakah benar kemiskinan itu benar-benar dipelihara oleh mereka yang membutuhkan suara agar bisa masuk dalam parlemen dan duduk di kursi kuasa?

Masyarakat yang terikat dengan lingkaran kemiskinan lebih mementingkan persoalan perut dibanding pendidikan untuk jangka panjang. Bansos dinilai seolah-olah dapat dijadikan sebuah solusi untuk mengentaskan kemiskinan akan tetapi solusi tersebut tidak dapat bertahan untuk jangka yang lama.

Menjadikan rakyat miskin untuk kendaraan politik adalah cara yang culas, tidak memiliki pendidikan yang mumpuni menjadikan mereka gampang ditipu daya atau bahkan diancam dengan penghapusan nama penerima bansos bagi mereka yang tidak memilih calon tertentu.

Selain kemiskinan yang dipelihara, pembodohan publik pun sama. Aktor politik berlomba-lomba menjadi pahlawan kesiangan tiap pesta raya pemilu, politik uang, bagi-bagi sembako, hingga istilah serangan uang fajar menargetkan rakyat miskin sebagai sasaran empuk. Adanya kongkalingkong antara orang kaya dengan aktor politik menjadikan kemiskinan itu semakin langgeng dan tumbuh dengan subur.

Di Indonesia, kemiskinan struktural dapat dilihat secara nyata ketika kelompok petani tidak mempunyai lahan pertaniannya sendiri, nelayan yang masih terbatas dalam memenuhi kebutuhan padahal sumber daya maritim di Indonesia sangatlah melimpah, hingga buruh yang penghasilannya juga tidak seberapa sangat berbanding terbalik dengan tenaga yang dikeluarkan.

Hal tersebut tidak menjadi hal yang mengejutkan kenapa di Indonesia kasus pinjaman online (pinjol) tengah marak dan banyak digandrungi oleh masyarakat. Pangkal dari pinjol adalah adanya kemiskinan struktural yang setiap hari permasalahnnya adalah tercekik dalam memenuhi kebutuhan hidup hingga solusi yang paling mudah untuk mengatasi hal tersebut ialah melakukan pinjaman secara online.

Oleh karena itu, pendidikan adalah pondasi utama dalam menghapus kemiskinan struktural. Sebagian orang yang terjebak dengan kemiskinan menganggap pendidikan merupakan aspek yang penting, akan tetapi di sisi lain juga ada yang mengedepankan pendidikan dan menganggap pendidikan itu dapat mengubah nasib mereka.

Faktanya di lapangan berbanding terbalik, biaya pendidikan semakin mahal bahkan kini biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hampir sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendaftar di perguruan tinggi swasta belum lagi beban administrasi yang menyulitkan. Apabila ingin mengakses bantuan dari pemerintah atau beasiswa setidaknya mereka harus mengocek uang untuk keperluan administrasi.

Jadi, apakah benar kemiskinan dipelihara? Ataukah kita memegang kunci untuk memutus lingkaran kemiskinan?

Pada momen Hari Buruh Internasional ini, mari kita renungkan perjuangan buruh dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak untuk mendapatkan upah yang layak, kondisi kerja yang aman, dan perlindungan sosial.

 

Reporter: Tabi’ina Alfi Rohmah

Editor: Tanaya Az Zhara

Post Comment