Oleh Narindra Krisna*
Kisah ini merupakan kisah nyata dari orang tua penulis.
Didedikasikan untuk Ibu, memperingati Hari Ibu 22 Desember 2018.
Deras sekali. Terguyur habis aspal dengan lumpur menggenang di sepanjang sisi. Jauh memang perjalanan yang harus kami tempuh. Bagaimanapun caranya kucoba menutup kotak roti ini dengan tanganku, agar tetap utuh. Saat itu, kupikir mendung mampir menggantung, hanya saja kami tidak beruntung, sebab tidak seorang pun yang membawa payung. Aku dan Amrozi memang tak lebih dari kader linglung yang kecemplung.
Kami diampuni Tuhan, hujan diredakan. Dengan kecepatan maksimal motor bebek Amrozi, kami melaju tak pandang kanan kiri sembari kupeluk kotak roti. Tentu saja yang kupeluk bukan Amrozi. Genangan lumpur beradu dengan ban motor setengah gembos akibat dari menahan bebanku. Cipratan lumpur membatik almamater hijau bercorak coklat bulat-bulat. Sama bulatnya dengan sorot mata Gus Taufiq, dengan bertolak pinggang, telah menanti kami di gerbang Balai Pemuda. Mau mati rasanya.
Meja jamuan makan telah terhias apik, lengkap dengan soto ayam dan teh hangat.
“Kopi mana kopi!” teriak salah seorang kader disahut kader-kader lainnya.
“Rapat butuhnya kopi. Mikir keras ini.” Sontak ruang makan penuh dengan riuh gelak tawa pemuda. Jadi heran, mengapa humor mereka rendah. Semua orang tertawa saat itu. Kecuali seorang pemuda. Benar,ia kader sebelah. Almamaternya cerah, celana dan kemejanya lusuh sedikit basah.
Ia menulis pada secarik kertas coklat, yang perlahan kuamati sama coklat dengan bola matanya. Alis matanya tegas, sorot matanya tajam mengikuti kata demi kata yang ia tulis dengan kecepatan di atas rata-rata. Seperti sedang tergesa mengeja sesuatu. Semacam catatan kecil yang kemudian ia berikan kepada seseorang, yang tiba-tiba menepuk pundaknya. Kukenal orang itu sebagai ketua organisasinya. Ah rupanya, pemuda ini sedang menulis teks pidato untuk seniornya. Cih,mau sekali dia.
Tak tinggal diam, kutanyakan kepada Mbak Yul siapa pemuda itu. Mbak Yul diam. Aku hampir mati kebingungan saat ia membalas tatapanku dengan teduhnya. Edan! Kenapa jadi seperti ini? Ia beranjak dari kursi plastik, berjalan mendekat padaku. Ya saat itu aku terlalu percaya diri saja, rupanya ia mendekat pada irisan semangka, bukan padaku. Hehehe. Berkat sahabatku, Amrozi, dapat kuketahui namanya. Didik Hermansyah. Orator, kader terbaik di organisasinya. Ya, pantas saja setajam apapun sorot mata itu, dapat kurasa aura pengayom yang teduh dalam jiwa.
Kongres Pemuda berakhir dengan kesepakatan.
“Jangan pulang dulu, ada yang ingin bertemu,” kata Mbak Yul sembari memberi jas hujan. Sebab mendung kembali membayang, entah kapan bisa pulang, entah siapa juga yang akan datang. Tak pernah kurasa, napasku memberat, saat teduh mata dan senyum sumringahnya, mampu membuat hujan reda. Yang datang sang Surya rupanya. Ia duduk di sebelahku, nampak jelas warna atribut kami kontras berbeda. Kami saling melempar pertanyaan sederhana, diakhiri dengan saling bertukar nomor ponsel dan kuberikan nomor telfon rumah. Rasanya, meski hujan mereda, ada sesuatu yang kian membara dalam diri seorang gadis muda.
Setelah hari itu, kami sering mencuri waktu untuk bertemu. Perpustakaan kota biasanya, lengkap dengan surat yang sengaja terselip di setiap buku yang aku baca. Ia memintaku untuk lebih banyak membaca.
“Dik, bacalah buku Di Bawah Bendera Revolusi ini,” ujarnya.
“Lah, kenapa, Mas? Rasanya buku ini juga ndak sesuai dengan organisasi kita,”
jawabku ketus sembari membuka buku itu, yang rupanya telah terselip surat.
“Buku ini karya Bapak Bangsa. Jangan kamu pilih-pilih kalau membaca,” jelasnya.
Bagaimana bisa kau dengar suara yang begitu bijaksana, lantas tidak jatuh cinta?
“Mas akan orasi di depan Balai Kota besok. Tidak ingin lihat?”
“Gimana bisa, Mas? Bendera kita jelas beda.”
“Siapa suruh kamu bawa bendera?”
Kami terdiam. Hanya ada suara gesekan kertas dalam hening perpustakaan.
Dini hari tanggal 1 Mei, sepertiga malamku lebih panjang dari biasanya. Aku memohon ampun lebih awal karena harus banyak berbohong hari ini. Khususnya kepada ayah. Beliau tidak boleh tahu bahwa putrinya berhasil melompati kandang ayam belakang rumah dengan merobek rok hampir sepaha, dan menempuh perjalanan Mojokerto hingga Balai Kota Surabaya. Ayah, sungguh putrimu ini telah jatuh cinta.
Pekat asap ban mobil yang terbakar, euforia teriakan dan kibaran bendera dengan warna yang tidak biasanya kulihat menjadi atmosfir yang sedikit mencekam kala itu. Belum lagi aparat kepolisian yang menyorot padaku tajam sebab aku wanita dan hanya sendirian. Satu hal yang membuatku terus berjalan, berusaha menembus lautan massa. Aku hanya ingin melihat sang Surya. Sang Suryaku ada di garis depan.
Sang Surya, ia berbeda. Ia lebih cerah dan tinggi. Dengan atribut lengkap, digenggamnya mikrofon yang terikat pada batang besi. Seorang kawan di sampingnya mengarahkan megafon dekat dengan lantang suaranya. Sama sekali bukan suara yang aku dengar selama ini. Suara ini membakar, lantang, gemuruh yang memecah riuh masa di hadapannya semakin berkobar. Mata coklatnya menatap matahari yang sama tangguh dengannya.
Inilah sang Suryaku, dalam wujud yang lain.
Ia berusaha menjadi penyambung lidah rakyat. Ia turun ke jalan.
Di Taman Kota, kami minum es goder dan makan lumpia isi kecambah.
Bougenville merah jadi latar belakangnya.
“Berdasar hasil muktamar, Mas diberi amanah di Sidoarjo,” ujarnya.
“Ketua?”
“Iya, Ketua.”
Ya apabila harus berbangga, jelas aku berbangga! Siapa yang tidak bangga punya kekasih jadi petinggi organisasi? Bodohnya, kalau dia punya jabatan jelas kita semakin mustahil untuk menikah. Mas Didik sampaikan, Ahad pagi akan datang ke rumah. Mau melamar katanya. Sungguh,ini bunga bougenville rasanya ingin kumakan saja.
Prosesi lamaran rasa sidang pleno tahunan. Kebaya putih milik ibu kembali kukenakan. Berulang kali ibu berharap, agar aku tidak terlalu dalam menaruh harap. Sebab dibanding perasaan kami, rasanya gengsi dan kepentingan jauh lebih tinggi. Mas Didik sempat sampaikan, jika ada salah seorang dari kami yang harus berkorban, maka ia memilih untuk kehilangan jabatan, serta kehormatan. Demi aku.
Namun bagiku, bukan cinta jika hanya salah seorang dari kami yang berkorban.
“Jika Mas mengundurkan diri, saya juga.”
“Jangan memperkeruh suasana! Organisasi kita tidak seremeh itu, Ani!” ujar ayah.
“Tidak seorang pun dari kami yang merendahkan keluhuran organisasi, Ayah. Justru kami saling berkorban, demi masa depan putra dan putri nanti. Jika kami masih bertahan, dengan masing-masing ideologi organisasi, lantas bagaimana nasib cucumu? Apa warna benderanya? Apa ideologinya? Masing-masing dari kami harus berkorban. Hingga saat anak kami lahir, ia akan bebas memilih apa saja warna benderanya.”
Tangis ayah dan ibu pecah saat Mas Didik meraih tangan mereka untuk pertama kali sebagai seorang menantu. Lucunya,kami menandatangani buku pernikahan,sekaligus surat pengunduran diri,disambut riuh undangan dan rekan kami di organisasi.
Kelak saat aku menjadi seorang ibu. Akan kuceritakan kisah klasik ini sebagai pelajaran. Bahwa cinta memahami betul arti pengorbanan. Tidak hanya dari pihak laki-laki, namun juga perempuan. Seringkali bahkan pengorbanan terbesar justru datang dari pihak perempuan. Tidak ada kepentingan lain yang jauh lebih luhur, dibanding dengan keluhuran cinta kasih itu sendiri. Kami tidak berbendera. Kami tidak berwarna. Dan kami, berbahagia.
*)Mahasiswi Hubungan Internasional semester 1, anggota Calon Maganger LPM Solidaritas 2018
Sumber gambar: freepik
Jadi, apakah kisah cintaku akan seperti ini? Di di mayoritas aku di minoritas *yangtautauaja