Surabaya (1/04) – Matahari sore mulai mengintip dari bilik-bilik bangunan yang berjejer panjang berukuran luas 2100 m2 itu. Masing-masing rumah ibadah memiliki gaya arsitektur yang khas. Sebuah cermin toleransi, komplek perumahan Royal Residence, Surabaya terlihat manis dengan tampilan rumah ibadah enam agama yang terbangun secara berdampingan tanpa adanya pembatas pagar.
“Mau kemana kak?” ujar satpam berbadan tegap yang sedang berjaga.
“Mau salat di Masjid ujung pak,” sambil menunjuk arah masjid, mata takjub melihat bangunan yang menjadi simbol sebuah perdamaian antar agama.
Paling ujung, terdapat masjid al-Muhajirin, kemudian Vihara Buddhayana Royal Residence, Gereja Katolik Kapel Santo Yustinus, Klenteng Konghucu Delapan Kebajikan, Pura Sakti Raden Wijaya, dan GKI Wiyung Royal Residence. Enam tempat ibadah tersebut dibangun secara berdampingan.
“Tujuannya ialah menunjukkan komitmen warga Surabaya tinggi atas peri kehidupan yang toleran, saling menghargai, saling menerima perbedaan yang alami di antara warga bangsa sehingga dapat menciptakan suasana yang damai dan harmonis antar anak bangsa yang majemuk ini,” singkap Gatot Seger (75), wakil ketua pembangunan di salah satu rumah ibadah tersebut.
Laki-laki bertopi itu menuturkan, berdirinya rumah ibadah ini atas inisiatif dari pihak Pengembang Perumahan Royal Residence yaitu PT. Bhakti Tamara. Rencana itu terungkap pada tahun 2016 an dan disampaikan melalui FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kota Surabaya. Proses demi proses, hingga akhirnya semua rumah ibadah telah berdiri dengan elok dan peresmian dilakukan secara bertahap. Klentenglah yang terakhir diresmikan, yaitu pada tahun 2020.
Di komplek rumah ibadah ini juga, mereka sering mengadakan perayaan-perayaan keagamaan masing-masing. Saat perayaan diadakan, undangannya berasa dari masyarakat dengan agama berbeda.
“Kalo dulu sebelum pandemi, setiap acara keagamaan selalu diadakan dengan baik. Bahkan jika salah satu agama mengadakan acara, mereka mengundang pemuka agama lain untuk ikut hadir dalam acara tersebut,” tutur Danny Nobret (37), selaku ketua kesekretaritan rumah ibadah Royal Residence.
Berdiri secara bersampingan tak membuat mereka terganggu satu sama lain. Seperti halnya ketika dalam satu rumah ibadah sedang mengadakan kegiatan dan masjid mengumandangkan adzan. Agar masyarakat dan pemeluk agama lain tidak terganggu maka masjid tidak menggunakan pengeras suara berlebihan.
“Kami tidak merasa terganggu kok kalo misalnya di rumah ibadah lain sedang mengadakan acara,” jelas Fano Alfiano (20), seorang muslim yang juga menjadi penjaga Klenteng Delapan Kebajikan.
Sebagai seorang penjaga Klenteng, Fano juga mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Klenteng tersebut.
“Biasanya kan ada ibadah sampe jam 3, jam 12, jam 6 itu gantian. Kayak kemaren kan ada acara Valentine, acara ibadahnya setelah salat Isya, ya sudah, salat Isya dulu. Ibadah di Klenteng baru dimulai sembayang, kalo salat Isyanya sudah selesai, udah,” lanjut pemuda berkaos hitam tersebut.
Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani juga Katholik bersama-sama merayakan natal. Setiap perayaan Natal, para jemaat GKI dan Gereja Katolik Royal Residence selalu merayakan Natal di rumah ibadah masing-masing.
“Oh ya pernah (acara berbarengan), tapi biasanya pada waktu Natal sih kayak yang kemaren. Kalopun memang bukan Natal, misal acara barengan yang penting saling berkoordinasi. Supaya sama-sama tahu gitu. misalnya ada yang pakai (lahan parkir) itu sehingga ngga sampai tumpukkan.” jelas perempuan berkacamata yang sedang melakukan persiapan ibadah di GKI, Liliana (39), bukan nama sebenarnya.
Ketika mereka melakukan perayaan secara bersamaan, yang bisa menjadi salah satu kendala ialah soal tempat parkir. “Biasanya kita tahu, kalo perayaan Paskah, dan ada dadakan gitu, mereka memberikan informasi. Nanti masalah tempat parkir akan dibagi dua,” jelas salah satu pengurus yang enggan untuk diwawancara lebih lanjut.
Selama kurang lebih empat tahun berdiri, hingga saat ini tidak timbul persoalan secara internal maupun eksternal, terlebih pada antar jemaat. Hal ini berdasarkan pengakuan dari jemaat dari rumah ibadah di sana.
Demi menjaga komunikasi antar pemeluk agama, mereka membentuk sebuah organisasi untuk menjadi wadah aspirasi dan koordinasi agar lebih mudah. Organisasi itu bernama Forum Komunikasi antar Rumah Ibadah atau FKRI.
“Forum Komunikasi antar Rumah Ibadah sebagai media untuk menyampaikan rencana kegiatan masing-masing rumah ibadah. Juga, sebagai bahan untuk penyesuaian kegiatan rumah ibadah lainnya. Supaya kegiatan mereka tidak berbenturan dengan memakai skala ‘Prioritas’,” tutur Indra, selaku Ketua FKRI.
Pernah tahun 2019, seluruh umat rumah ibadah Royal Residence mengadakan acara bersama-sama, yakni Hari Kemeredekaan Republik Indonesia, atau yang sering disebut dengan 17-an. Selamatan dan makan bersama menjadi pilihan mereka dalam mengungkapkan rasa syukur atas kehidupan para pemeluk agama dan bangsa Indonesia.
“Doa dari masing-masing perwakilan rumah ibadah untuk warga, bangsa dan negara pada acara malam tirakatan/tasyakuran peringatan HUT RI,” ungkapnya.
Dengan adanya acara-acara yang melibatkan seluruh jemaat rumah ibadah, di mana notabenenya mereka berbeda latar belakang soal keyakinan, hal itu dapat membangun nilai toleransi.
“Dengan melaksanakan ajaran masing-masing dan tidak menganggu aktifitas ibadah agama-agama lain,” begitulah sekiranya harapan Indra Prasetya ketika diwawancarai peserta SEJUK melalui via What’sApp.
Izza-LPM Solidaritas
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.