Apa yang kita pikirkan jika mendengarkan kalimat Lembaga Pers Mahasiswa atau umumnya dikenal sebagai LPM? Kritis, Idealis, dan Independen. Memang 3 kata tersebut sering disematkan pada lembaga pers mahasiswa, tak ayal karena Lembaga Pers Mahasiswa sejatinya adalah sebuah media penyampai berita mengenai berbagai isu yang ada di perguruan tinggi sekaligus sebagai ruang bagi tiap mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi dan kritik mereka terhadap suatu keresahan tertentu.
Bahkan ada teori yang disebutkan oleh Fred S. Siebert, theodore peterson, wilbur schramm pada bukunya yang berjudul Four Theories of the Press pada tahun 1956. Terdapat 4 teori pers yang disebutkan, salah satunya libertarian theory atau umumnya dikenal teori pers bebas, disebutkan bahwa pers harus menjadi mitra dalam usaha mencari kebenaran, dan atau bukan menjadi alat pemerintah. Namun bagaimana jika pers pada tingkat mahasiswa sudah tidak “sebebas” pada awal abad-20.
Sejarah Pers Mahasiswa di Indonesia
Jika berbicara mengenai sejarah terbentuk pers mahasiswa di Indonesia, tak lepas dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Menurut beberapa catatan sejarah, pers mahasiswa di Indonesia lahir ditandai dengan didirikannya Hindia Poetra 1908 oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan R.T.A. Tirtokoesoemo sebagai media aspirasi bagi kaum perempuan yang ada di Hindia Belanda.
Beranjak 16 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1924 lahir sebuah majalah bernama Indonesia Merdeka oleh Perhimpoenan Indonesia di Belanda sebagai bentuk perlawanan bagi pemerintah Belanda untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1930, para mahasiswa yang mengambil jenjang studi di kota seribu menara juga menerbitkan Oesha Pemoeda. Media-media ini punya satu tujuan mulia yang sama yakni “kemerdekaan Indonesia”.
Selesai masa kolonial, berlanjut ke penjajahan Jepang.
Pers mahasiswa seakan-akan kehilangan peredarannya dikarenakan aktivitas represi yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang pada saat itu. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu, pers mahasiswa kembali menunjukkan eksistensinya lagi.
Terbukti oleh diadakannya Konferensi I Pers Mahasiswa Indonesia di Kaliurang, Yogyakarta pada tanggal 8 Agustus 1955 menghasilkan dua organisasi Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa (SPMI) sekaligus kode etik jurnalistik mahasiswa, yang kemudian bersatu menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1958 tepatnya di Konferensi II Pers Mahasiswa Indonesia.
Era awal orde baru menjadi masa kejayaan pers mahasiswa. Pers mahasiswa menjadi lebih kritis dan berani dalam menyebarkan suatu berita, mengingat suhu politik di Indonesia pada saat itu sedang memanas. Namun, perlahan-lahan aktivitas mahasiswa di Indonesia dikontrol dan dibatasi, tak terkecuali pers mahasiswa.
Bahkan pada tahun 1978 banyak pers umum yang dibredel oleh pemerintahan Orde Baru, tak lama berselang pers mahasiswa juga terkena getahnya sehingga membuat IPMI mulai ditinggalkan anggotanya dan vakum pada awal tahun 1980.
Diberedel dan dibatasi, bukan menjadi halangan bagi pers mahasiswa untuk tetap menyuarakan aspirasi walaupun dihadapkan pada situasi yang tertekan, dimana di luar kampus pers mahasiswa dihadapkan oleh represi aparat, sedangkan di dalam kampus harus berurusan dengan birokrasi kampus yang memaksa mahasiswa bak berada di dalam penjara.
Namun harapan mulai muncul pada tahun 1990-an menjelang Masa Reformasi, pers mahasiswa hidup secara alamiah melalui aktivitas penerbitan dan forum-forum pelatihan dan pendidikan jurnalistik yang diadakan oleh beberapa perguruan tinggi ditambah pada tahun 1992, pertemuan yang dikemas dengan lokakarya penerbitan mahasiswa se-Indonesia di Universitas Brawijaya, Malang.
Sebuah organisasi baru muncul atas persetujuan sejumlah lembaga penerbitan mahasiswa yang ada di setiap perguruan tinggi Indonesia, yakni Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI). PPMI kemudian berubah menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Peran pers mahasiswa semakin terlihat pada gerakan mahasiswa 1998, dimana saat itu banyak pers umum terdiam dan berhati-hati namun pers mahasiswa malah semakin berani.
Generasi Z dan Pers Mahasiswa
Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa yang tergabung pada lembaga pers mahasiswa di setiap perguruan tinggi saat ini didominasi oleh generasi Z mulai angkatan 2020-2023. Perlu diketahui generasi punya kepribadian yang cukup dinamis, terlebih generasi Z punya akses informasi yang lebih banyak daripada generasi pendahulunya sehingga mereka merasa bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Akses informasi yang ditawarkan oleh media sosial dapat berdampak negatif pada generasi Z seperti mengurangi minat baca dan literasi digital mereka. Pendapat yang sama disampaikan oleh Devie Rahmawati seorang pegiat literasi dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa mereka memilih membaca bukan secara sukarela.
Ketertarikan mereka lebih terhadap tampilan visual yang bergerak. Lebih mudah karena membuat mereka tidak perlu terlalu fokus. Mereka bisa sambil melakukan apapun. Itu yang menyebabkan tayangan visual jadi lebih menarik”. Faktor ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa pers mahasiswa kehilangan image “kritis” mereka di hadapan masyarakat luas.
Pola pikir yang berbeda dengan generasi pendahulu mereka juga dapat menjadi faktor, seperti mindset apatis mahasiswa generasi Z yang hanya ingin menjadi mahasiswa “kupu-kupu” atau kuliah- pulang-kuliah-pulang. Dilansir dari website Froyonion, generasi Z cenderung dengan istilah-istilah nasionalis, perubahan, social control, dan lain sebagainya.
Pola pikir seperti ini juga dapat menghambat perkembangan sebuah lembaga pers mahasiswa, terlebih lembaga pers mahasiswa perlu pengkaderan untuk menambah personel dalam meliput suatu isu. Dasar-dasar yang ada di ilmu jurnalistik, seperti menulis juga tantangan bagi pers mahasiswa itu sendiri, dikarenakan generasi Z hanya terkesan menjadi konsumen dengan sifat konsumtif yang tinggi namun tidak dibarengi dengan sifat produktif.
Mengutip hasil survei dari Kompasiana oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, minat menulis pada generasi Z hanya 32,5% berbanding jauh dengan generasi X sebesar 55,8% dan generasi Y 52,6. Sehingga perlu pendekatan khusus yang diterapkan oleh lembaga pers mahasiswa agar tetap mendapatkan minat dari generasi Z.
Lembaga pers mahasiswa perlu untuk terus menanamkan ilmu-ilmu dasar jurnalistik hingga ke kode etik jurnalistik secara komprehensif pada setiap anggota-anggotanya atau calon anggota yang didominasi oleh generasi Z ini, sehingga tidak berfokus pada aktivitas klasik sebuah organisasi seperti membuat event, mengikuti lomba, dan nongkrong yang hanya sekadar menunjukkan eksistensinya saja.
Namun, berfokus pada peningkatan intelektual terutama pada kemampuan menyaring dan menganalisis sebuah informasi. Sejarah panjang dari pers mahasiswa sebagai penggerak harus tetap terjaga marwahnya. Hendaknya lembaga pers mahasiswa menyediakan ruang bagi kritik dan aspirasi setiap mahasiswa dan tetap menjadi wadah untuk menerapkan ilmu-ilmu dasar jurnalistik yang baik dan benar, alih-alih mengejar standar industri yang ada saat ini.
Penulis: Raya Akbar Tiar Wibowo
Editor: Alfi Damayanti