Mengumumkan cerita kesedihan orang lain ialah perbuatan tidak terpuji, kali aja ada orang gila yang menampar mereka yang tertawa keras. Apakah kalian menerima perasaan putus asa yang tak tersampaikan? Burung-burung gereja sudah tak nampak lagi mengunjungi mereka yang bersedih untuk menghibur.
Perjalanan menuju rumah sangat lengang, sesekali aku lontarkan senyuman agar semua tahu damai itu indah lewat senyuman. Boro-boro mendapat senyuman balik, mereka saja menatapku sinis. Seolah kesalahan yang aku perbuat tidak bisa dimaafkan, untuk mengetahui kesalahan yang pernah aku buat saja tidak mengerti. Mereka hanya bisu tatkala aku bertanya apa kesalahanku sehingga mereka berbuat demikian.
“Yan, kamu kan sahabatku paling dekat. Kasihlah bocoran kenapa mereka semua memusuhiku, kan aku sudah bilang tidak melakukan ritual babi ngepet,” jelasku sembari menepuk pundah Riyan, supaya bisa memberitahu apa yang terjadi selepas aku pergi.
“Meski aku adalah sahabat terdekatmu, mulutku sudah disumpah warga desa, diancam, dan akan diasingkan jilka aku memberitahumu apa masalah terjadi.” jelas Riyan memasang wajah sedih, hanya menemaniku dihari-hari menyebalkan bentuk dedikasinya. Riyan pergi, memberikan nasihat untuk meninggalkan tempat ini segera. Akan ada perilaku tidak adil dari warga sekitar.
“Terima kasih banyak Riyan, walaupun aku begitu tidak paham masalah pelik ini, apakah dukun bisa memberikan solusi? Rasanya era modern sudah tidak ada lagi orang yang mempercayai dukun, profesi dukun akan segera punah,” sahutku, dilanjutkan Riyan berpamitan dan jika terjadi apa-apa denganku segera kabarinya saja.
Aku pasrah, nasi sudah menjadi bubur. Andai ada alat yang bisa mendeteksi kebodohan setiap orang, kemudian tes satu-persatu, hasilnya akan mengarah kepadaku, manusia paling bodoh dan hina di mata masyarakat.
Telingaku sesekali mendengar tetanga berbicara, “Lihat itu Raka, modelannya seperti itu kenapa masih diterima di kampung kita,” tiga orang membeicarakanku ditambah anak-anak kecil yang sebenarnya tidak tahu apa-apa terkena imbasnya.
Berapa banyak dosa yang mereka tanggung membentuk anak mereka untuk mengolok satu orang yang bodoh, benar-benar bodoh. Ingin sekali aku meminjam intel untuk mengetahui kebenaran di balik kisah rumit, sayangnya kebanyakan intel sudah banyak menyamar menjadi tukang makanan, nasi goreng, bakso, mie ayam, dan sejenisnya.
Omongan sama terdengar dari berbagai kelompok ibu dan bapak, tidak ada yang menyapa penuh senyuman, kecuali satu orang. Nenek yang berjualan di pinggir lapangan desa, wajah tak asing bagiku untuk mengenali, pernah bertemu di suatu tempat, tetapi entah mengapa memoriku tidak bisa diajak untuk berkompromi mengingat seseorang.
Senyuman nenek itu menggerakkanku untuk menghampirinya, jika saja nenek tersebut bisa membantuku mengungkapkan kejanggalan dari masayarakat desa. Nenek menatapku tajam, tangan kanannya memagang lonceng berharap ada anak-anak datang untuk membeli es serut yang dijual, kebetulan aku tidak membawa uang sama sekali.
Aku melempar senyum lagi, nenek membalas juga. “Nak, sepertinya kamu ada masalah. Nenek melihat dari ujung timur, kamu memasang wajah murung, coba cerita dengan nenek.” tidak basa-basi langsung menanyakan apa yang terjadi kepadaku, aku terkejut, bagaimana bisa nenek mengatahui diriku murung dengan mata yang masih sangat tajam. Ah, paling dulu nenek menerapkan pola hidup sehat.
“Maaf, Nek. Raka lancang menanyakan hal ini, apakah nenek tau rumor yang ada di masyarkat apa ya? Semua orang tidak menyukai keberadaanku.” wajahku menunjukkan benar-benar ingin mengetahui kebenaran.
“Tugasmu cuma satu, ingatkan masyarakat agar mereka pindah ke daratan yang lebih tinggi.” Lonceng berbunyi, mataku mulai kabur. Sesaat keberadaan nenek tidak pernah ada lagi, aku tertidur di pinggir lapangan. Mata masyarakat tertuju kepadaku mengira sudah menjadi orang gila.
Aku menemukan tulisan di secarik kertas di saku bajuku, bertuliskan;
Nak, ingat pesan nenek tadi.
Ini amanah dari nenek moyangmu terlebih dahulu, ayah dan ibu juga mengalami hal serupa. Ini tahun terakhir bencana akan datang, semoga kamu kuat menjalani dan mengingatkan semua masyarakat. Maka dari itu semua orang membencimu karena ayah dan ibumu mengingatkan masyarakat untuk berada di dataran tinggi pada lusa, tepat tanggal 17 Juni 2000
Nenekmu
Semua tidak kebetulan, dia nenekku yang diceritakan ibu dan ayah di dalam surat peninggalannya. Di saat besar wasiat ini yang harus aku jalankan, makna tersirat inilah kenapa aku harus kembali ke kampung halaman.
“Baaapaaak, ibuuu, anak-anaaak, dan kakek-nenek, lusa harus berada di dalam Bukit Cibinong!” teriakku. Jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan, sahabatku sudah dihubungi tidak ada panggilan.
Sambil berlari dari hujaman kata-kata menusuk hari, dua hari selalu aku lakukan dengan menutup wajahku dengan topeng. Karena rasa malu masih ada, dan rasa rindu menyampaikan masih kuat. Anak-anak kecil masih menyorakiku, “Orang gila … orang gila ….” penuh semangat dan sesekali mereka melempar pasir ke badanku.
Pikiranku cuma satu, mereka bisa selamat dari bahaya yang akan menimpa. Besok bencana akan datang, pesan dari nenek moyang diturunkan kepadaku. Hujaman batu mulai mengarah kepadaku, teriakan sudah lagi tidak dipedulikan, mereka sudah melihatku seperti binatang, bahkan lebih hina.
Tinggal celana saja yang masih melekat ditubuhku, kaos sudah dilucuti mayarakat, cambuk 20 kali menghujam dengan menggunakan dalih menyesatkan. “Dasar orang gila! Sama kayak keluarganya semua! Mampus! Rasakan cambuk ini, biar tidak mengganggu ketenangan warga lagi,” ucap algojo tidak mempunyai hati nurani dan tatapan amarah warga tetap mengarah kepadaku semua.
“Aaa … aaa ….” teriakku, “Kalian akan merasakan akibatnyaaa,” sambungku. Sahabatku menangis melihatku disiksa dan tidak bisa berbuat apa—apa.
Selepas dicambuk, aku diusir dari kampung halamanku. Dikawal seluruh masyarakat desa, aku mengalungi tulisan ‘Saya orang gila, jangan percaya omongan saya’. Setelah sampai perbatasan kampung, tubuhku dilepas dan tergeletak di pinggir jalan. Satu orang pun tidak ada yang mempedulikanku.
Sehari setelahnya, aku tergeletak di pinggir sawah. Hanya meminum air yang biasanya digunakan mengalirkan ke sawah. Mataku sudah memudar, kesadaranku sudah mulai menghilang, dan beberpa menit kemudian aku hilang.
Hujan turun di desaku pertama kali semenjak 10 tahun terakhir, mereka bersuka cita sekaligus berakhir hidupnya yang tidak pernah tahu penyebabnya. Hanya satu orang selamat, yakni sahabatku yang menceritakan kisah ini dengan membuat buku berjudul ‘Hujan Kematian’. Karena dia yang percaya dan sudah aku sediakan tenda dimana khusus untuk berteduhnya.
Desa mati, tidak ada kehidupan lagi.
Oleh : Akbar Trio Mashuri