Bagi banyak orang, memasuki kehidupan pasca kampus sinonim dengan memasuki masa dewasa atau adulthood. Memasuki fase hidup tersebut, seseorang bisa dirundung kekhawatiran dan ketakutan. Survei yang dilakukan oleh Dell Technology pada 12.086 generasi Z di tujuh belas negara termasuk Indonesia yang lahir pada tahun 1997 ke atas menunjukkan bahwa generasi tersebut merasa tidak yakin dengan kesiapan mereka secara individu di lingkungan pekerjaan. Generasi yang kini tengah memasuki kehidupan pasca kampus dan berkontribusi terhadap 20 persen tenaga kerja yang ada tersebut cenderung khawatir bahwa kemampuan akademis dan soft skill yang dimiliki kurang memadai dalam dunia pekerjaan.
Sebagai mahasiswa, hidup mungkin terasa lebih mudah dengan teman kuliah dan teman bermain yang memiliki usia, latar belakang pendidikan, tempat tinggal, dan kegiatan yang sama. Namun, memasuki masa dewasa pasca kampus, lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan akan memberikan pengalaman hidup yang jauh berbeda. Bagi generasi Z yang mayoritas memiliki kekhawatiran akan soft skill mereka, memasuki dunia kerja dengan orang yang beragam dari lintas generasi bisa menjadi tantangan. Dalam menjalani kehidupan pasca kampus, wajar jika generasi Z membutuhkan sarana yang dapat membantu mereka beradaptasi dengan cepat dan nyaman ke dalam masa dewasa yang penuh keberagaman.
Beberapa tahun terakhir, ide hidup dalam co-living space mulai banyak dilirik oleh masyarakat, termasuk di dalamnya anak muda yang baru lulus kuliah. Disarikan dari berbagai sumber, co-living dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk hunian bersama yang dioperasikan oleh operator yang berbasis teknologi yang mengedepankan nilai komunitas, kenyamanan, dan keterjangkauan sembari mengoptimalkan tempat dan ruang yang terbatas. Dengan adanya nilai komunitas yang diusung oleh banyak operator co-living, opsi tempat tinggal ini menawarkan gaya hidup urban modern yang mendukung keterbukaan, rasa saling berbagi, dan kolaborasi.
Berdasarkan laporan dari Jones Lang LaSalle (JLL) mengenai co-living di Asia Pasifik, gaya hidup dengan tinggal di co-living awalnya digerakkan oleh perubahan demografi, keuangan, dan kemajuan teknologi. Kondisi demografis yang semakin terisi oleh pekerja muda yang mengundur usia menikah serta terbuka akan tempat kerja yang dinamis dan berpindah-pindah menimbulkan permintaan akan tempat tinggal dengan fleksibilitas yang memungkinkan adaptasi yang cepat. Kondisi keuangan yang membuat kepemilikan rumah semakin tidak terjangkau membuat para pekerja yang saat ini masih didominasi generasi milenial juga membuat konsep co-living laku di pasaran. Walaupun co-living awalnya populer di tengah generasi milenial, fleksibilitas co-living yang memampukan anggotanya untuk beradaptasi dengan cepat bisa menjawab kebutuhan generasi Z yang baru saja memasuki dunia kerja dan dipenuhi kekhawatiran untuk beradaptasi.
Co-living untuk anak muda memiliki banyak keuntungan secara keseluruhan. Kamu akan lebih dimudahkan dalam hal mengerjakan pekerjaan rumah karena dapat secara bergilir melakukannya dengan flatmates atau membagi jobdesc sesuai kemampuan masing-masing. Misalnya kamu mengambil peran memasak karena kamu lebih jago masak sedangkan teman sekamarmu mengambil peran mencuci piring dan membersihkan meja makan setelah makan bersama. Tinggal dalam co-living juga membuatmu lebih hemat dalam membeli kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat dirasakan ketika kalian memesan makanan lewat aplikasi online sehingga bisa saling berbagi makanan, serta saat belanja kebutuhan pokok. Kelebihan lainnya ketika tinggal di co-living adalah kamu dapat berinteraksi dan saling belajar dari satu sama lain. Ketika seseorang lebih handal dalam masak, maka teman sekamar yang lain pun mungkin akan tertarik untuk mencoba belajar memasak juga. Yang terakhir, bergabung dalam co-living juga menjamin keamanan yang lebih tinggi daripada kamu tinggal dalam apartemen sendiri. Ketika kamu membutuhkan sesuatu yang darurat pun kamu dapat mengandalkan dan meminta tolong teman sekamarmu.
Ebi, 22 tahun, baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi di Jakarta dan kini tengah memulai kariernya di ibu kota. Ia pun memilih untuk tinggal di co-living yang dioperasikan oleh Flokq, salah satu operator co-living di Jakarta. “Menurutku penting banget, sih, untuk punya space sendiri untuk berkreasi dan berpikir dengan bebas. Sesederhana bisa mendekorasi kamar sendiri dan bisa berkenalan dengan orang-orang dengan latar belakang yang beda-beda,” jelas Ebi. Ebi merupakan salah satu contoh kaum muda yang menyadari dan merasa nyaman dengan fasilitas dan komunitas yang ditawarkan oleh co-living.
JLL merangkum co-living ke dalam 4C: Convenience, Cost, Community, dan Collaboration. Faktor convenience atau kenyamanan yang ditawarkan co-living menyangkut hal fleksibilitas. Kontrak co-living secara umum mencakup semua layanan dan persyaratan pindah dari ruang berperabotan lengkap, utilitas, layanan kebersihan dan layanan pemeliharaan. Segala permintaan layanan sekarang dilakukan dengan mudah melalui teknologi dan aplikasi seluler.
Faktor cost dalam co-living yang merupakan salah satu faktor utama ketertarikan masyarakat untuk tinggal dalam co-living. Harga tempat tinggal telah meningkat jauh lebih cepat daripada persewaan tempat tinggal membuat sebagian orang meninggalkan opsi untuk memiliki rumah sendiri selagi baru bekerja. Skala ekonomis untuk hal-hal seperti utilitas, Wi-Fi, pembersihan, dan furnitur juga menciptakan efisiensi biaya bagi semua pihak yang terlibat. Community dalam co-living merupakan hal utama yang membedakan kehidupan seseorang yang tinggal sendiri di apartemen atau kost. Kesepian dan isolasi sosial adalah satu kesatuan masalah kesehatan yang tumbuh paling cepat di banyak negara negara maju, dan penyedia co-living membudidayakan komunitas yang memperjuangkannya melalui sosial yang terorganisir kegiatan, acara, lokakarya dan kelas.
Maka, ketika seseorang kesulitan menjalin relasi setelah memasuki dunia bekerja, co-living dapat membantu untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Seringkali anak muda dalam ruang co-living menikmati manfaat aspek kolaborasi (collaboration) komunitas yang disediakan karena bersifat melayani kaum muda dan aspiratif secara demografis. Beberapa tipe co-living melayani sepenuhnya profil atau profesi tertentu, dengan operasi co-living yang secara khusus menampung ‘digital nomads’, community blockchain atau perusahaan baru, dan seterusnya. Co-living space mungkin dapat terlihat lebih mahal daripada fasilitas satu kamar bersama dalam apartemen. Namun, setelah semua biaya tambahan seperti pindahan, biaya agen, utilitas, pemeliharaan dan furnitur menjadi faktor dalam penentuan harga maka akan jauh lebih efisien, ditambah dengan keuntungan tambahan karena memiliki persyaratan sewa yang fleksibel.
Menjawab kebutuhan generasi milenial dan generasi Z yang mendominasi pasar tenaga kerja saat ini, industri co-living bertumbuh dengan cepat dalam beberapa tahun belakangan. Berdasarkan laporan Housemonk, pada tahun 2017 jumlah co-living di seluruh dunia mencapai 1,8 juta dan kian bertambah hingga 2019 sudah mencapai 2,9 juta. Sebagai benua dengan perkembangan populasi yang tinggi, minat dari masyarakat sendiri untuk hidup di co-living pun kian menjadi bagian dari keterjangkauan dari biaya hidup. Negara-negara yang menduduki peringkat atas dengan jumlah peminat co-living adalah Cina sebanyak 2,8 juta, India 130 ribu, dan negara-negara di Eropa sebanyak 15 ribu. Co-living di Asia sendiri sudah berkembang pesat sejak tahun 2007. Sampai saat ini, sebanyak kurang lebih 2 juta orang tinggal dalam co-living yang disewa dan jumlah operator penyedia co-living mencapai lebih dari 50 operator. Dua operator penyedia co-living teratas di Cina ditempati oleh Ziroom dan Xiangyu. Ditambah permintaan generasi Z yang kini memasuki pasar tenaga kerja, industri co-living dapat bertumbuh semakin pesat dalam tahun-tahun ke depan.
Di Indonesia sendiri, para operator co-living seperti Flokq mulai bermunculan dan mendisrupsi pasar akomodasi bulanan yang didominasi oleh kost. Layaknya operator co-living lain, operator co-living di Indonesia menawarkan akomodasi dengan fleksibilitas penyewaan dan komunitas yang unik dengan dukungan platform teknologi untuk mendukung operasional mereka. Di Bali dan Jakarta, terdapat berbagai operator co-living yang terus berkembang dan memenuhi kebutuhan akomodasi dengan konsep 4C kepada para anggotanya. Para anggota pun diuntungkan dengan fasilitas yang ada. Utamanya bagi para generasi Z yang memasuki masa dewasa, komunitas co-living membantu masa transisi kehidupan mereka.