Oleh: Much. Taufiqillah Al Mufti*)
“Masih terlalu banyak mahasiswa bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi,” kata Soe Hok Gie (Mahasiswa Universitas Indonesia, Angkatan ’66)
*
Ancaman pidana sudah jelas tertera, tetapi rasa ingin melakukan ploncoan (makian, kekerasan fisik, bentakan) masih belum padam
Sesuai ketentuan dalam KUHP Pasal 310, 335, 351 dan 352, jika terdapat tindakan tidak menyenangkan, penghinaan dan penganiayaan dapat memicu tindak pidana yang berakibat sanksi kurungan. Padahal tindakan penghinaan maupun penganiayaan dalam masa-masa Ospek (plonco) sudah amat akrab sekali, bahkan dianggap biasa. Sadar atau tidak, perlakuan apapun yang berbau diskriminatif harus ditolak.
Perlakuan senior (panitia) kepada mahasiswa baru tatkala Ospek (Orientasi Studi Pengenalan Kampus) senantiasa kontroversial, inkonstitusional, dan tidak mendidik sama sekali. Pada masa pra-Ospek perploncoan itu sudah dimulai oleh senior, dengan meminta membawa dan membuat atribut “aneh” (tas kresek, papan nama dari kardus, topi kertas, kaus kaki warna-warni). Dalam masa pelaksanaan Ospek, mahasiswa baru kerap kali diminta melakukan tindakan “aneh”: mencium tanah. Kata senior itu menunjukan cinta tanah air.
Bukankah masih ada cara lain menunjukan seseorang mahasiswa cinta tanah air selain sekedar mencium tanah, misal diminta menyanyikan Indonesia Raya (W.R Supratman) atau Tanah Air (Ibu Sud). Dan ada lagi permintaan senior yang lebih “aneh”, bahkan tidak logis. Semisal: menghitung butiran beras. Permintaan “aneh” itu pada ujungnya dibuat untuk bahan tertawaan.
Memang, permintaan senior tadi didasarkan sebagai sanksi kepada mahasiswa baru yang melanggar tata tertib. Walau demikian, tata tertib itu tidak berpijak dari dasar keadilan dan sengaja memantik pelanggaran dari mahasiswa baru. Tata tertib itu biasanya berbunyi: (pasal 1) panitia selalu benar, (pasal 2) jika panitia salah maka kembali pada pasal 1. Kan itu menjebak? Adil-kah?
Pasal-pasal karet tadi membuat senior memiliki kekebalan hukum atas tindakan apapun, baik atau buruk – walau pasal tadi dapat disebut treatment dalam Ospek. Dengan kekebalan itu, senior berhak berbuat apa saja kepada mahasiswa baru (junior). Alih-alih ingin memupuk mental mahasiswa baru dan menjalin keakraban, malah terkadang terdapat siksaan fisik (bully) yang berakibat cedera sampai meninggal dunia. Menurut Surat Edaran Dirjen Dikti no. 3120/D/T/2001, perlakuan keras senior yang menimbulkan cedera dan meninggal dunia dapat dituntut secara hukum.
Panduan umum ospek berdasar pada Kemendikbud No. 0125/U/1979 dan Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2000. Diadakannya Ospek untuk membimbing mahasiswa baru agar beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat kampus, serta bimbingan tersebut dilakukan dengan cara atau tindakan yang bernuansa positif, edukatif dan akademis.
Inti dari pada kegiatan Ospek sendiri adalah mengenalkan dan mengadaptasikan mahasiswa baru dengan kehidupan kampus. Sedang makna tujuan tersebut dipelintir sesuai pemahaman subjektif senior. Terkadang motif senior melakukan tindak kekerasan – verbal maupun non verbal – ingin membalas dendam atas perlakuan senior mereka pada Ospek terdahulu.
Warisan Kolonialisme dan Feodalisme
Menurut penuturan dan pengalaman Muhammad Roem (Lihat: Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3), Ospek dengan bully-nya sudah ada ketika ia mengeyam pendidikan di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), 1940. Pada saat itu Ospek disebut ontgroening, artinya hijau, dan mahasiswa baru itu hijau. Maka adanya ontgroening dimaksudkan menghilangkan warna hijau (ketidaktahuan) mahasiswa baru agar cepat mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan.
Dari akvititas ontgroening yang positif itu kemudian bergeser pada bully. Muhammad Roem menceritakan pengalamannya ditanyai aksara Jawa, kemudian diminta menyebut huruf aksara Jawa dari belakang ke depan, dan tidak diizinkan berhenti sebelum lancar. Puncak siksaan itu ketika masa pendudukan Jepang (1942), dimana saat itu penyebutan plonco mulai kerap dipakai. Disebut plonco karena anak-anak kecil gundul pada saat itu disebut plonco dan setiap pelajar baru musti digunduli karena dianggap bodoh dan tidak dewasa (Lihat: R. Darminto Djojodibroto, Tradisi Kehidupan Akademik).
Pada rezim Orde Lama, istilah plonco tersebut dihilangkan oleh golongan kiri (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, CGMI) karena menurut mereka bagian dari peninggalan kolonialisme dan feodalisme. Dimana dalam perploncoan sarat akan tindakan kesewenang-wenangan pada pelajar baru yang notabene seperti rakyat kecil dan senior ibarat tuan tanah yang bebas memerintah. Kemudian plonco diganti penyebutannya dengan MOS (Masa Orientasi Siswa) atau Ospek, dan gilirannya diisi aktivitas pendidikan dan keilmuan yang konstruktif.
Ospek Pedagogi
Idealnya kegiatan Ospek, terlebih jika di kampus, banyak diisi aktivitas pendidikan dan keilmuan. Terutama memperkenalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi (value): pendidikan, penelitian dan pengabdian. Mahasiswa baru (Maba) dengan itu mendapat gambaran aktivitas kehidupan kampus sehari-hari yang diisi dengan perkuliahan, diskusi, riset dan kerja sosial. Penugasan-penugasan kepada mahasiswa baru berupa permintaan untuk meresume sebuah buku, lebih masuk akal, bukan sekedar diminta membelikan jajan oleh senior.
Terlebih menanggapi atmosfir kehidupan masyarakat sosial kekinian yang individualis, apatis dan hedonis akibat dari godaan kemajuan teknologi dan tuntutan tingginya kebutuhan ekonomis. Dimana masyarakat kelas menengah kekinian yang bercita-cita dan bekerja keras, pagi berangkat dan sore pulang ngantor, hanya untuk memenuhi isi perut dan kesenangannya sendiri. Maba perlu diperkenalkan tentang adanya organisasi yang terdapat dalam kampus, baik organisasi internal dan organisasi eksternal. Bahwa organisasi itu sebagai kawah condrodimuko yang akan menempa mental dan kepekaan sosial mahasiswa atas realitas sosial-politik maupun ekonomi-politik.
Ada poin dalam Ospek yang jangan sampai luput dan tak tersentuh, yaitu memperkenalkan dan memahamkan amanat mahasiswa sebagai agent of control dan agent of change. Alih-alih Maba terbayang kehidupan kampus seperti pada tayangan sinetron, namun aktivitas kampus itu gandrung dan menjunjung tinggi intelektualitas yang terus menerus tiada henti melakukan analisis, diskusi, seminar, riset sebagai responsifitas terhadap dinamika sosial-keagamaan, sosia-politik, ekonomi-politik, ekologi, kebudayaan. Setiap ada persoalan kebangsaan, kebudayaan, keagamaan selalu direspon, bukan dengan amuk, tetapi dengan kajian dan riset untuk kemudian dicari solusi yang tepat untuk menanggulanginya.
Peran agent of control mahasiswa yang jarang mendapat sorotan media, diperparah dengan tingkat aktivitas membaca masyarakat Indonesia yang hanya 0,001 persen menurut UNESCO, alih-alih media televisi menjadi sumber informasi ‘tunggal’, membuat image mahasiswa bagi Maba terkesan keras dan anarkis, karena kerap melihat demonstrasi mahasiswa yang berakhir ricuh. Anggapan itu tidak dapat dibenarkan karena parsial, serta hanya menyoroti satu aspek dan tidak dipandang secara komprehensif: apa alasan demonstrasi? Apa yang diperjuangkan mahasiswa? Siapa mahasiswa sesungguhnya?
Menurut analisis Francois Raillon (Lihat: Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, Konsolidasi Pembentukan Orde Baru 1966-1974), peran serta mahasiswa dalam kancah perpolitikan bangsa sangat menentukan. Bagi peneliti berkebangsaan Prancis ini, hadirnya Angkatan ’66 yang gencar melakukan kritik dan aksi untuk menyikapi pemerintahan rezim Orde Lama yang cenderung abai pada aspirasi rakyat dan inflasi yang melangit. Bubarnya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan lahirnya Orde Baru akibat dari gerakan masif Angkatan ’66 yang gencar tiada henti menekan pemerintah untuk menyepakati Tritura.
Tokoh-tokoh mahasiswa penting pada saat itu seperti Zamroni (Ketua Presidium KAMI dan kader PMII) dan Cosmas Batubara (kader PMKRI). Pada 25 Oktober 1965, tokoh-tokoh penting itu diundang di kediaman Jenderal Sjarif Thayeb (Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) mengajak para mahasiswa-mahasiswa untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk merespon G 30 S. Dan pada rapat pertama KAMI di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dihadiri Jenderal Sarwo Edhi. Demikian, peran mahasiswa bagi elit pemerintah maupun tokoh nasional tidak dapat dipandang remeh dalam usaha konsolidasi demokrasi kerakyatan.
Sebagaimana idealnya, catatan sejarah pergerakan mahasiswa itu jangan dikaburkan dengan memandang mahasiswa adalah akar kekisruhan. Tetapi perlu diberikan pandangan objektif dan konperhensif bahwa mahasiswa menempati posisi penting dalam tata struktur sosial kerakyatan Indonesia. Mahasiswa yang belum memasuki dunia kerja, maka besar peluang bagi mahasiswa untuk memiliki banyak waktu, dan kebebasan berpendapat dan bergerak, karena jika telah terikat kontrak kerja berarti sistem ekonomi-politik maka celah-celah kebebasan bagi seseorang telah terpasung.
Menyadari kenyataan peran mahasiswa yang luar biasa, maka cukup menggelitik bila Ospek lebih banyak diisi dengan agenda dagelan. Sekali lagi, tujuan Ospek jangan dikaburkan. Bahwa agenda-agenda dalam Ospek seharusnya mendidik baik secara kognitif maupun afektif (karakter). Maka syarat untuk mewujudkan itu, seluruh civitas kampus harus fair (jujur, fairness) dan suportif agar sebenar-benarnya melaksanakan Ospek sesuai dengan hakikat tujuan dan koridor hukumnya. Jangan ada lagi Ospek yang diskriminatif.
Lebih-lebih, dengan terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti RI No. 096/B1/SK/2016 Tentang Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKK-MB) dan Surat Edaran Kemenag No. 3032.A/Di.I/PP.00.9/07/2016 Tentang Pengenalan Budaya Akademik bagi Mahasiswa Baru (PBA-MB). Dalam surat keputusan tersebut mengamanatkan keterlibatan dosen, tenaga akademik dan mahasiswa menjadi panitia PKK-MB atau PBA-MB.
Hal ini akan meminimalisir perilaku senioritas, tatkala kepanitiaan didominasi oleh mahasiswa, an-sich. Dipertegas dalam skema evaluasi PKK-MB menyertakan orang tua (wali mahasiswa) dan jajak pendapat mahasiswa baru melalui kuisioner (peserta PKK-MB). Dengan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan ini akan mewujudkan Ospek yang lebih humanis dan demokratis. Ini harapan kita bersama agar tiadanya tindak kekerasan mental dan fisik.
)* Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab