MediaSolidaritas.com – Sekitar 300 peserta antusias ikuti kajian sekaligus praktik Ru’yatul Hilal dalam rangka menentukan 1 Ramadan 1445 Hijriah yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa (HIMA) Prodi Ilmu Falak Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya pada Minggu (10/03) di Observatorium Astronomi Sunan Ampel (OASA) Lt. 10 Rooftop Gedung Twin Tower-B UINSA.
Acara tersebut dimulai dengan penyampaian materi oleh M. Agil Thariq Ramadan selaku Alumni Prodi Ilmu Falak UINSA angkatan 2018. Dalam materinya, ia menyoroti perbedaan konsep penentuan awal bulan Hijriah menurut dua ormas besar Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Meskipun metode penentuan mereka berbeda yang mengakibatkan adanya perbedaan dalam memulai puasa dari tahun sebelumnya, tetapi keduanya memiliki dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Kalian boleh ikut yang manapun yang kalian anggap benar, ini soal perbedaan namun tidak boleh jadi perpecahan, lakukan sesuai dengan keyakinan,” ucap Agil dalam penyampaian materi pertama.
Hasil dari pengamatan Ru’yatul Hilal ini nantinya dilaporkan kepada Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pertimbangan dalam Sidang Isbat untuk menentukan awal bulan Ramadan. Namun, hilal tidak bisa terlihat karena terkendala mendung sekaligus kondisi hilal kurang dari standar Neo-MABIMS.
Standar yang dirumuskan dalam kriteria Neo-MABIMS minimal ketinggian hilal yang harus terlihat adalah 4 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat. Standar ini telah disepakati oleh Menteri Agama dari empat negara yaitu Brunei, Malaysia, Indonesia, dan Singapura.
“Nanti setelah magrib kita akan melihat hilal, akan tetapi kondisinya saat ini mendung dan posisi hilal harus minimal 4 derajat dari Neo-MABIMS, sedangkan hilal kita masih di bawah 1 derajat,” jelas Akbarul Umam dalam penyampaian materi kedua.
Sebelum tahun 2020 hingga awal 2021, kriteria Neo-MABIMS yang mengharuskan ketinggian hilal minimal 4 derajat dengan elongasi sudut 6,4 derajat masih belum berlaku. Sebelumnya, ketinggian hilal hanya diukur sekitar 2 derajat kemudian bertambah menjadi 3 derajat setelah konjungsi dan ijtima. Karena kompleksitasnya tersebut, ru’yat memiliki standar minimal untuk ketinggian hilal yang dapat dilihat.
Adanya perubahan perhitungan ketinggian hilal disebabkan oleh perkembangan teknologi-teknologi ke astronomian tentang bagaimana cara pengukurannya, tekniknya, hingga bagaimana alat hitungnya. Patokan pengelihatan hilal ramadan yang menggunakan ketetapan ketinggian minimal 4 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat dapat berlaku di tahun-tahun berikutnya.
Dilansir dari laman resmi kemenag.go.id, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menuturkan bahwa posisi hilal di beberapa daerah di Indonesia sudah di atas ufuk dan tidak memenuhi kriteria MABIMS baru. Pada Sidang Isbat disepakati bahwa untuk mengistikmalkan (menyempurnakan) Bulan Syaban menjadi 30 hari sehingga 1 Ramadan 1445 H jatuh pada hari Selasa, 12 Maret 2024.
Walaupun hasil dari Ru’yatul Hilal ini tidak memenuhi kategori Neo-MABIMS, Arina Manasikana, salah satu peserta dalam acara tersebut menanggapi bahwa acara ini menyenangkan dan mengedukasi.
“Tadi kan tidak memenuhi kategori standar hilal dalam penentuan awal bulan, akan tetapi acaranya lancar, seru, mengedukasi sekali, dan banyak mahasiswa-mahasiswa dari prodi lain menghadiri. Saya harap acara ini selanjutnya semakin berkembang,” ungkap Mahasiswa Ilmu Falak tersebut.
Acara ini bukan hanya sekedar agenda yang diadakan pertama kali atau saat penentuan awal bulan Ramadan saja, melainkan sebuah kegiatan rutinan yang sudah dilakukan sejak adanya Prodi Ilmu Falak di Kampus Ahmad Yani. Praktik lapangan ini tidak hanya berfokus pada teori-teori yang diajarkan di kelas, namun juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang ilmu falak.
“Agenda seperti ini bukan hanya untuk dikonsumsi oleh Mahasiswa Ilmu Falak itu sendiri, melainkan juga para mahasiswa-mahasiswa prodi lain bahkan masyarakat umum untuk bisa mengetahui bagaimana cara mengeksplor cara-cara Ru’yatul Hilal, mengingat hal ini berkenaan langsung dengan ibadah yang tentunya dilakukan oleh seluruh umat muslim di dunia,” tutup Khoirul Anam, Ketua HIMA-Prodi Ilmu Falak.
Reporter: Moh. Nurul Huda & Faizyah Artika Harani
Editor: Tabi’ina Alfi Rohmah