Pada saat pelantikan periode kedua, Jokowi melayangkan pernyataan mengenai pengadaan Omnibus Law pada periode kali ini. Sebelumnya Omnibus Law sendiri sudah pernah diberlakukan di Indonesia, yaitu untuk UU No.19 tahun 2017 tentang akses Informasi keuangan untuk perpajakan, dan kemudian digagas kembali untuk saat ini. Pada bulan Februari lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yaitu tentang ketenagakerjaan dan perpajakan. Tentu banyak polemik yang terjadi di dalamnya, entah itu berupa kesalahan normatif ataupun prosedural.
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan pada Omnibus Law tentang cipta kerja, salah satunya tentang perubahan pada pasal UU Pers, yang mana mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi karena memuat campur tangan pemerintah terhadap pers. Bentuk intervensi ini bertentangan dengan UU Pers No. 40 tahun 1999. UU Pers dibuat untuk mengawasi dan mengontrol segala bentuk kegiatan tanpa ada campur tangan dari pihak tertentu. Dengan adanya intervensi pemerintah itu bisa memberikan batasan dan kekangan dimana berujung pembredelan media. Interevensi pemerintah ini Jelas mengancam keberadaan jurnalisme baik dalam lingkup media maupun sebatas pers mahasiswa.
Selain itu, RUU Omnibus Law juga merubah dua pasal pada UU Pers tahun 1999, yaitu Pada pasal 11 yang berbunyi “pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.” UU sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Hal ini bisa merusak iklim demokrasi ini Indonesia karena keberadaan pers akan menjadi keberpihakan. Apalagi perusahaan pers wajib berbadan hukum, jelas sangat sangat membatsai dalam penerbitan.
Kemudian pada pasal 18 sanksi bagi perusahaan pers yang tidak menghormati norma agama, kesusilaan, asas praduga tak bersalah menolak melayani hak jawab koreksi, dan konten pemberitaan yang melanggar aturan diperberat, yang semula dikenakan denda 500 juta sekarang menjadi 2 miliar. Bisa dibilang pasal ini rawan untuk menjadi pasal karet, sama halnya dengan ancaman hukuman pada pencemaran nama baik. Dengan adanya pasal ini, sedikit terlihat bahwa pers sengaja diberi batasan dan kekangan.
Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) juga mempertanyakan motif pemerintah dengan dua pasal tersebut dalam Omnibus Law. Karena pada tahap penyusunan tidak ada kordinasi antara pemerintah dengan organisasi profesi jurnalis yang mana notabenya sebagai aktor di lapangan. Pembuatannya terkesan tidak transparan dan tidak melibatkan publik.
Melihat situasi diatas, dalam catatan AJI kebebasan pers di Indonesia masih rendah, terhitung sepanjang 2019 ada 53 kasus kekerasan terhadap wartawan. Kekerasan yang dilakukan meliputi pemukulan, pemaksaan pengahapusan video, pembakaran motor sampai perampasan dokumentasi. Dan penanganan beberapa kasus tidak sampai pada pengadilan.
Dari RUU Omnibus Law ini tidak semuanya berakhir buruk bagi masyarakat, namun alangkah baiknya untuk dilakukan pengkajian ulang mengenai RUU Omnibus Law. Ada beberapa pasal yang harus diperhatikan untuk disesuaikan dengan urgensinya di masyarakat. Agar tidak ada kesalahan dalam penerbitan undang-undang. Dan menjadi masalah untuk jangka panjang.
Fardan Zamakhsyari Mahasiswa Semester 6 Prodi Sistem Informasi UINSA*
Sumber gambar : Radarpena Media