Judul: Republik Keriting
Penulis: Visnu Assyafiq Suwarto
Editor: Putra
Desain Sampul: Aldino Alim dan Tim Reativ
Tahun Terbit: 2019
Penerbit: Reativ
Tebal Buku: 112 halaman
ISBN: 978-62390056-3-4
Peresensi: Jihan Ristiyanti*
Visnu Assyafiq Suwanto, laki-laki kelahiran 4 April 1999 di Surabaya ini masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Pertama kali saya mengenalnya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya pada tahun 2017. Sedari awal mengenalnya, ia memang menunjukkan ketertarikannya di dunia sastra, khususnya puisi. Beberapa hari lalu, di Sekretariat LPM Solidaritas, saat saya dan teman-teman sedang berkumpul, ia datang dengan menyodorkan buku bersampul hijau dengan gambar siluet suasana perkotaan di kala senja.
Buku tersebut adalah kumpulan puisi dengan judul ‘Republik Keriting’ dan tepat di bawah judul, tertulis nama sang penulis, Visnu Assyafiq Suwarto. Ini adalah buku pertamanya, dan terbit di bulan Februari 2019. Buku ini banyak bercerita tentang cinta dan beberapa puisi bercerita mengenai kehidupan sehari-hari. Rindu, harapan, dan perpisahan menjadi latar belakang dari kebanyakan puisi di dalamnya. Buku yang mempunyai sekitar 112 halaman ini adalah buku kumpulan puisi pertama yang saya baca di mana setiap puisinya tidak menyematkan judul. Meski bukan hal yang baru, tidak juga menjadi sesuatu yang umum dalam perjalanan sastra puisi Indonesia.
Bagaimana pun doa yang kuat
Akan lancarkan hatimu dari berbagai arah
Melupakan kenangan lama
Waktu-waktu yang indah
Meskipun tak sama
Percayalah bahwa hari ini akan lebih manis sedari dulu
Itu adalah puisi yang ada pada halaman dalam buku Republik Keriting. Meski penggunaan bahasanya sederhana dan umum, tapi tak mengurangi keindahan pada setiap lariknya. Jika saya representasikan, puisi tersebut bercerita, bahwa setiap doa yang kita panjatkan akan menjadi kekuatan batiniah seseorang. Sebuah harapan akan hari esok yang lebih baik dari kemarin.
Di dalam bukunya, penulis sering kali menggunakan permajasan, terutama majas personifkasi,
…
Silakan saja
Belilah putih baru
Pundak rentanku mungkin kadaluwarsa
Untuk malaikat secantik dirimu
Tanpa tangan dan kaki pun
Tuhan masih rela ciptakan harum bunga
…
30/03/18
Ini adalah kutipan dari puisi pada halaman 43. Dalam kalimat ‘pundak rentanku mungkin kadaluwarsa’, penulis menyifati ‘pundak’, sebagai sesuatu yang hidup dengan kata ‘kadaluwarsa’ yang dipakai untuk menggambarkan benda mati yang sudah lewat (habis) jangka waktunya. Dan masih banyak lagi penggunaan majas-majas yang dipakai. Meskipun penulis menggunakan permajasan, majas yang digunakan adalah majas yang familiar. Sehingga pembaca akan mudah memaknainya.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Kelebihan dari buku ini yang pertama terlihat adalah desain sampulnya yang simpel. Dengan didominasi warna hijau, jingga, hitam dan penyajian gambar siluet perkotaan kala senja, memberikan kesan bahwa buku ini cocok untuk dijadikan konsumsi bacaan kala santai. Ketika menyelami halaman demi halaman, mata pembaca akan dimanjakan dengan gambar batik bunga yang menjadi background di setiap lembar buku. Dalam setiap puisi di buku ini mencantumkan waktu pembuatannya, hal tersebut menjadi nilai lebih, sehingga pembaca dapat mengetahui kelahiran karya tersebut. Buku ini menggunakan kertas book paper, berwarna kekuningan, halus, ringan dan tipis sehingga mata kita tetap nyaman berlama-lama membaca. Untuk kategori buku kumpulan puisi, ketebalan buku dengan 112 halaman tidak banyak menyita waktu baca. Saya cukup membacanya dalam sekali duduk.
Kelemahan dari buku ini tidak adanya daftar halaman, mengingat karena puisi-puisi di dalamnya tidak memiliki judul, namun langsung pada tubuh puisi itu sendiri. Hal tersebut menyulitkan pembaca untuk mencari ulang puisi yang ingin dibaca. Selain itu, beberapa gambar batik bunga yang seharusnya terlihat cantik, di beberapa halaman justru menutupi tulisan terutama pada beberapa larik puisi. Terkait penempatan, puisi diletakkan secara acak, tidak sesuai urutan waktu pembuatan.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada dalam buku ini, secara khusus, saya merekomendasikannya kepada teman-teman pecinta puisi untuk menjadi salah satu santapan bacaan. Meski belum menjadi sastrawan terkemuka, isi dalam buku ‘Republik Keriting’ bisa menjadi angin segar dalam dunia sastra, khususnya puisi.
*) Mahasiswi Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2016, saat ini sedang mengabdi di LPM Solidaritas