MediaSolidaritas.com – Digitalisasi merupakan proses perubahan pada teknologi dari bentuk analog menjadi digital. Proses ini terjadi karena adanya perkembangan teknologi sehingga segala keperluan operasional dalam aktivitas sehari-hari dilakukan dengan mengandalkan teknologi.
Teknologi yang berkembang pesat memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat. Salah satunya adalah informasi yang bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Namun, di sisi lain informasi itu bisa saja mengalami ‘kebanjiran’ karena saking banyaknya informasi yang masuk dan diterima oleh masyarakat. Akibatnya, kebenaran dalam informasi itu menjadi sulit temukan dan membuat masyarakat jadi lebih sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan yang salah.
Tidak hanya berdampak pada masyarakat, derasnya arus informasi digital juga membuat peran pers mengalami transformasi yang signifikan. Era di mana media massa hanya berperan sebagai penyiar berita kini telah berlalu. Saat ini, tantangan dan tanggung jawab pers jauh lebih kompleks dan multidimensi.
Di sinilah peran pers sangat dibutuhkan. Era digital menuntut para pers dari penyampai berita menjadi navigator informasi serta pendidik publik. Mereka dituntut untuk menjadi sumber informasi yang valid bagi masyarakat di tengah gempuran massive information serta dapat memvalidasi serta meluruskan informasi yang tengah diperbincangkan di masyarakat. Pers juga harus menjadi pendidik publik, memberikan edukasi, dan memberikan peringatan kepada masyarakat untuk senantiasa menyaring informasi yang mereka terima.
Melalui konten-konten yang diproduksi, pers berkewajiban mengedukasi masyarakat tentang bagaimana cara membedakan informasi yang valid dan invalid. Ini bukan sekadar tentang menyajikan fakta, tetapi juga memberikan konteks dan pemahaman yang lebih luas kepada pembaca.
Pers memiliki peran yang begitu besar dalam kemajuan, mereka menjadi pilar demokrasi keempat setelah eksekutif (pemerintahan), legislatif (parlemen), dan yudikatif (lembaga hukum). Pengamat sosial Dr. Jon Palinggi mengatakan dari jaman ke jaman bahwa pers memegang peran penting. Di masa pergerakan pers sebagai alat perjuangan untuk mengusir penjajah dan di era sekarang pers menjadi bagian dari demokrasi serta kontrol sosial. Peran jurnalistik dari masa ke masa sangat besar. Mereka tidak hanya sekedar mendistribusikan berita atau informasi tetapi juga ikut dalam pembangunan secara luas. Itulah ruh pers yang sesungguhnya. Hal ini disampaikan oleh Dr. Jon sendiri.
Lalu bagaimana evolusi peran pers di era digital ini? Transformasi yang signifikan membuat mereka tak lagi mengandalkan kecepatan dalam menyebarkan sebuah informasi tapi bagaimana peran pers tersebut berubah menjadi validator atau fact checker. Mereka juga harus merubah dari breaking news menjadi explaining news. Lantas, apa yang menjadi pembeda di keduanya?
Breaking news adalah menyebarkan informasi yang cepat sedangkan explaining news berarti menyebarkan informasi dengan data yang tepat. Explaining news itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang. Pers sebagai validator garda terdepan bertugas untuk melawan tsunami disinformasi dan misinformasi, mereka juga harus berkompetisi melawan media sosial serta citizen journalism yang rawan untuk menyebarkan informasi-informasi hoax.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Marsekal TNI Purn Hadi Tjahjanto menyampaikan pada kegiatan pemilu kemarin penyebaran informasi yang berasal dari media sosial terutama dipengaruhi oleh tren citizen journalism membawa sebuah tantangan besar bagi pelaksanaan demokrasi secara jujur dan transparan.
Sifatnya adalah ‘want to be first know‘ yaitu kecenderungan siapa yang menyebarkan berita paling awal dialah yang dianggap paling tahu. Informasi tersebut mengandalkan kecepatan dalam menyebarkan informasi. Namun, informasi yang telah disebarkan belum tentu akurat. Mereka yang telah menyebarkan informasi tersebut juga belum tentu memiliki tanggung jawab untuk meemberikan validasi sehingga menyebabkan kecenderungan untuk menciptakan polarisasi dalam masyarakat.
Pers harus bertransformasi menjadi fasilitator dialog publik yang konstruktif. Di tengah polarisasi masyarakat yang semakin tajam, pers tidak boleh sekadar menjadi corong berbagai pendapat, tetapi harus mampu membangun jembatan pemahaman antar berbagai kelompok masyarakat. Forum diskusi online, ruang komentar, dan platform interaktif lainnya harus dikelola dengan bijak untuk menciptakan diskusi yang sehat dan produktif.
Inilah yang menjadi tantangan untuk pers, menyebarkan informasi dengan cepat bukan tugas kita lagi karena itu bisa saja disebarkan oleh citizen journalism di berbagai sosial media. Istilah ini bisa disebut sebagai democratization of content. Dalam jurnal politik profetik dengan judul “YOUTUBE: Sebuah Kajian Demokratisasi Informasi dan Hiburan” mendefinisikan demokrasi konten adalah kemudahan akses informasi bagi sipil serta partisipasi politik, tidak ada sensor bagi akses internet dan kapasitas untuk menciptakan pengetahuan (Anggriani:2021).
Hal tersebut juga bertentangan dengan otoritas jurnalisme, pada demokrasi konten siapa saja boleh menjadi ‘penerbit’ untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Mereka bisa menyampaikan berita dengan hanya bermodalkan handphone serta internet dan tidak perlu melalui proses editorial yang formal, kecepatan penyebaran informasinya juga tinggi, dan interaksinya hanya melalui komentar, share, dan engagement. Sedangkan otoritas jurnalisme mengacu pada praktik jurnalisme profesional yang mengandalkan standar, etika, dan metodologi yang ketat, hanya bisa dilakukan oleh jurnalis terlatih dan institusi media yang memiliki kredibilitas.
Proses otoritas jurnalisme harus melalui verifikasi yang ketat. Mulai dari mekanisme editorial serta fact checking, mengandalkan sumber-sumber yang kredibel, terikat dengan kode etik jurnalistik serta ada akuntabilitas dan tanggung jawab hukum.
Di era digital ini, pers harus mengambil peran sebagai pengawal demokrasi digital. Ini termasuk mengawasi dan melaporkan berbagai bentuk pelanggaran privasi data, penyalahgunaan teknologi untuk kepentingan politik, hingga upaya-upaya manipulasi opini publik melalui algoritma media sosial.
Di tengah semua transformasi ini, ada satu hal yang tidak boleh berubah: komitmen pers terhadap kebenaran dan kepentingan publik. Meski platform berubah dan cara penyampaiannya berevolusi, esensi jurnalisme tetap sama – menyajikan kebenaran dan membela kepentingan publik. Tantangan terbesar bagi pers di era digital bukan sekadar bagaimana bertahan hidup di tengah disrupsi teknologi, tetapi bagaimana tetap relevan dan dipercaya oleh publik. Ini membutuhkan kombinasi antara adaptasi teknologi yang cerdas dan keteguhan pada nilai-nilai fundamental jurnalisme.
Pada akhirnya, redefinisi peran pers di era digital bukan tentang meninggalkan nilai-nilai lama, tetapi tentang mengadaptasi dan memperkaya peran tersebut sesuai tuntutan zaman. Pers tidak lagi sekadar menyiarkan berita, tetapi harus menjadi pemandu yang dipercaya dalam era digitalisasi.
Maka dari itu di hari pers nasional ini, sudah tugas kita sebagai pers untuk senantiasa memberikan informasi yang efektif dan tepat kepada masyarakat. Serta senantiasa tidak hanya mengandalkan kecepatan, tapi lebih mengutamakan ketepatan karena hal tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kita tidak lagi sekedar menyiarkan berita yang hari ini ada kemudian harus disebarkan secara cepat-cepat kepada masyarakat, tapi tugas kita yang paling penting adalah menjadi wadah verifikasi serta tenaga pendidik yang menghasilkan informasi yang sehat untuk disebarkan kepada masyarakat.
Penulis: Tabi’ina Alfi Rohmah
Editor: Nurlaily Zuhrah