Telah resmi disahkan Rancangan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadi Undang-Undang pada Kamis (20/3) lalu.
Pengesahan RUU TNI tentu menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat selaku ‘titisan garuda’, dikarenakan beberapa pihak khawatir akan aktifnya dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau dwifungsi TNI yang menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh pihak militer terhadap sipil di kemudian hari.
RUU TNI yang disahkan tersebut berisi tentang perluasan jangkauan jabatan kementerian yang dapat diduduki TNI, menjadi salah satu firasat beberapa pihak mengenai kembali diaktifkannya dwifungsi TNI melalui pengesahan siluet tersebut.
Mengulas DWIFUNGSI ABRI
Kebijakan dwifungsi ABRI atau fungsi ganda ABRI mulai dilegalkan pada masa pemerintahan Soeharto, masa Orde Baru tahun 1982 melalui Undang-Undang nomor 20 tahun 1982 yang berlangsung selama 32 tahun.
Dimana ABRI memiliki dua fungsi, sebagai kekuatan militer negara juga sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara yang berhasil mendominasi pemerintahan pada masa orde baru. Saat itu, banyak perwira aktif ABRI yang ditunjuk menjabat di sektor pemerintah seperti MPR, , DPR, DPD tingkat Provinsi maupun menjadi duta besar, dan bupati/walikota.
Selain mengurangi jatah warga sipil untuk masuk ke sistem pemerintahan, hal ini juga menjadikan sistem pemerintahan tidak lagi transparan. Hingga puncaknya, kinerja militer menjadi alat kekuasaan rezim untuk menegakkan pembenaran kebijakan pemerintah yang mematikan hak ‘garuda’ berdemokrasi yang berujung pada pelanggaran HAM akibat keadaan politik dan pemerintahan Indonesia yang kacau.
Keresahan akan terulangnya mimpi buruk tersebut, membuat jalanan sekitar DPRD tiap daerah kembali dikepung aliansi masyarakat yang tidak sejalan dengan ‘hati nurani’ DPR ketika mengesahkan RUU TNI.
Meski suara terbuka masa diacuhkan oleh pihak DPR dengan tetap disahkannya RUU TNI sambil mengentengkan kenyataan bahwa masyarakat menolak tegas, tidak membuat mereka berhenti menyerukan haknya melalui berbagai gerakan penolakan lainnya, seperti berpakaian serba hitam selaku bentuk penolakan di meja kantor maupun berbagai wujud keresahan yang tergambarkan lewat beberapa postingan berisi gambar garuda terbaring lemah dengan berbalutkan bendera negara indonesia yang memiliki makna multitafsir.
Burung garuda pada pancasila melambangkan kekuatan dan gerak dinamis yang terlihat dari sayapnya yang mengembang, siap terbang menjunjung tinggi kedaulatan negeri. Melambangkan dinamika dan semangat untuk mengunggulkan nama baik bangsa dan negara Indonesia melalui segala aspek potensi rakyatnya.
Faktanya, pembungkaman mulai dilakukan beberapa pihak kepada masyarakat dengan macam-macam motif, seperti pengiriman kepala babi ke pada media tempo sehari sebelum RUU TNI disahkan selaku ancaman pembungkam suara demokrasi rakyat.
Kepala babi di berbagai negara seperti Filiphina, Vietnam, Korea, dan di belahan Afrika barat dimaknai sebagai pengantar orang meninggal.
Pengantar pengesahan RUU TNI yang mulai berbau anyir darah garuda (red, masyarakat) membuktikan bahwa pelebaran sayap TNI yang berpotensi mematikan demokrasi sebagai bentuk aparat negara yang menunggu busuknya garuda.
Ditambah terkikisnya kepercayaan masyarakat pada pihak ABRI, membuat tidak sedikit stigma buruk menjadi label khusus yang enggan ditoleh lagi oleh banyak pihak. Seperti fakta tentang terkuaknya kembali pembunuhan warga sipil oleh ABRI yang mencapai ribuan jiwa sejak 1982 hingga hari ini, isu yang menggamblangkan pembuncitan perut aparat sebab kinerja tak profesional, atau perlakuan pihak militer pada masyarakat sipil berupa pelanggaran HAM hingga berujung tindak asusila yang kurang sesuai dengan peran aparat pelindung bangsa.
Penulis : Aisyah Ramadhani Anshory
Editor : Dewi Aisyah Alya Pratiwi