Apa yang terlintas ketika tiba di bulan September? Salah satu hal yang begitu tertanam dalam ingatan seluruh rakyat Indonesia ketika memasuki bulan September ialah pengibaran bendera setengah tiang guna memperingati peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI). Tragedi memilukan dalam sejarah negara tersebut mengakibatkan 6 jenderal dan 1 perwira militer Indonesia gugur karena menjadi korban penculikan serta pembunuhan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Seakan tidak belajar dari kejadian yang amat memilukan itu, negara kembali mengulang peristiwa serupa dengan menggores sejarah baru melalui kekerasan terhadap rakyatnya sendiri. Yang lebih mencengangkan lagi, runtutan peristiwa tersebut juga terjadi di bulan September.
Mari kita buka dengan mengulik Tragedi Tanjung Priok. Tragedi Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984 dengan latar belakang menyebar kritikan tajam pada pemerintah. Sebagai respon, pemerintah secara diam-diam menangkap para kelompok pengkritik atau bisa dikatakan sebagai penculikan. Masyarakat yang mengetahui penangkapan tersebut merespon balik dengan mengepung Kantor Kodim Jakarta Utara, yang mana tempat tersebut adalah tempat penahanan. Puncaknya adalah terjadi kerusuhan antara masyarakat dan militer yang mengakibatkan 400 orang terbunuh atau hilang.
Berlanjut ke Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999. Tragedi tersebut bermula ketika para mahasiswa menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan menuntut dwi fungsi ABRI. Terjadi di beberapa daerah di Indonesia, aksi penentangan tersebut mendapat sambutan yang baik dengan perlakuan represi oleh pihak ABRI. Sambutan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban antara lain Yap Yun Hap (Mahasiswa Fakultas Teknik UI), Zainal Abidin, Yusuf Rizal (Universitas Lampung/UNILA) dan beberapa korban lainnya. Tim Relawan Kemanusiaan yang membantu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini telah mencatat total 11 korban jiwa dan 217 orang mengalami luka-luka.
Selanjutnya merupakan kasus yang amat populer dalam Sejarah HAM Indonesia, kasus Pembunuhan Munir Said Thalib, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Munir dibunuh pada 7 September ketika berada di pesawat Garuda dalam perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam. Diduga, kematiannya akibat dari racun arsenic yang ada di dalam minumannya. Munir terlibat dalam beberapa penyelesaian kasus HAM, yang salah satunya adalah menjadi penasihat hukum untuk keluarga dari tiga orang petani yang dibunuh oleh TNI di proyek Waduk Nipah, Banyuates, Sampang.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia tidak dapat menjalani hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan manusia yang lain untuk menjalani aktivitas keseharian. Demikian pula halnya antara manusia sebagai makhluk individu yang sangat membutuhkan negara agar menjadi sebuah tempat bernaung dan berlindung. Eratnya hubungan antara negara dan individu telah memberikan sebuah gambaran penyerahan sebagian hak masyarakat kepada negara yang dapat berupa bentuk kepatuhan masyarakat dalam menjalankan serangkaian kewajiban yang dibebankan negara kepada individu.
Sementara itu, negara juga memiliki kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan hak-hak warga negaranya, sebagai bentuk imbalan dari kepatuhan masyarakat. Maka dapat dikatakan wajar ketika ada sebuah demonstrasi terjadi akibat dari tidak adanya pemenuhan hak-hak masyarakat oleh negara.
Generasi perlawanan akan selalu lahir dari rahim penindasan terhadap hak-hak masyarakat yang masih terus bermunculan. Gemuruh lirih sakit terus menumbuh, merambah, dan berkumpul menjadi satu teriakan besar. Gerakan-gerakan semakin masif untuk digalakkan, tanpa pikir risiko apa yang ada di depan. Tenggelam pada tungku poporan akibat tuduhan perlawanan yang menjadi sebuah kisah kelam, sebutlah September Hitam.
Tak pernah luput dari ingatan, sejumlah kejadian horor menyangkut pelanggaran HAM yang masih menjadi sebuah misteri hingga saat ini. September Hitam telah disematkan oleh para lembaga, pengamat, dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melihat kasus tindak kekerasan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Negara seakan tidak pernah serius menangani kasus-kasus tersebut berdasarkan prinsip-prinsip HAM dengan menjunjung tinggi martabat korban.
Jika memang Indonesia menganut sistem demokrasi, penyelesaian berbagai konflik akan mengarah pada peaceful resolution on conflict, yang mana individu akan menyaksikan sebuah peningkatan kecenderungan penyelesaian konflik melalui cara-cara yang tidak demokratis. Akibatnya, anarkisme itu semakin bertambah akut, seiring dengan lumpuhnya law enforcement serta merosotnya peranan dan fungsi lembaga penegak hukum.
Suasana kehidupan yang tenang dan demokratis adalah impian setiap insan manusia. Sebab itulah demokrasi perlu menjadi aktualisasi dalam kehidupan bernegara. Demokrasi adalah simbol peradaban baru oleh bangsa-bangsa lain dunia. Dengan semakin dikenalnya sistem demokrasi ini, terdapat semacam kontrak yang tak tertulis bagi negara-negara di dunia agar dapat mencantumkan label demokrasi dalam format politik yang dimilikinya.
Negara memiliki peranan vital, yaitu mengendalikan dan mengatur sirkulasi kekuasaan yang muncul dalam elemen masyarakat agar tidak bertentangan satu sama lain. Di sisi lain, negara juga memiliki peranan untuk mengorganisir dan mengintegrasikan segala gerakan individu atau perseorangan dan golongan, agar dapat mencapai tujuan bersama seperti yang dicita-citakan. Dapat diartikan, negara telah membuat ketetapan metode dan arahan batas sampai mana kekuasaan dapat dipergunakan dalam kehidupan bersama, baik secara individu, golongan atau kelompok maupun oleh negara itu sendiri.
Dalam konteks negara demokrasi menunjukkan dengan jelas bahwa rakyat menjadi pemegang, pembuat dan penentu kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi akan mengarah pada satu dasar kehendak dan kemauan rakyat mayoritas tanpa mengesampingkan suara rakyat minoritas.
Runtutan peristiwa memilukan di bulan September tidak bisa berhenti dalam pemahaman bahwa perlawanan adalah suatu hal yang tidak berguna dan sia-sia. Memang benar, jika rakyat melawan negara akan dapat diibaratkan seperti semut melawan gajah. Namun, jika semut sudah sadar bahwa melawan adalah bagian dari hak asasinya, gajah yang kuat dan besar pun tidak akan ada artinya. Melawanlah, karena hak asasi rakyat adalah melawan!
Penulis: Al Ghozaly Irzha
Editor: Nabila Wardah