Si ‘Penyebar Semangat’ Budaya Jawa di Surabaya
FEATURES

Si ‘Penyebar Semangat’ Budaya Jawa di Surabaya

Salah satu peninggalan dari sejarah kemerdekaan Indonesia yang didirikan oleh Dr. Soetomo adalah organisasi Budi Utomo. Tak hanya itu, Bung Tomo juga melebarkan sayapnya melalui Majalah Penyebar Semangat. Penyebar Semangat merupakan majalah berbahasa Jawa tertua dengan usia 83 tahun, terbit setiap hari Sabtu, bertempat di Jalan Bubutan No. 87 Surabaya.

Majalah yang pernah mendapatkan penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia sebagai Majalah dalam Bahasa Jawa Tertua, 80 tahun di tahun 2013 dahulu mempunyai tujuan untuk menyebarkan semangat kemerdekaan. Namun tujuan tersebut berubah seiring berkembangnya jaman, tujuan sekarang untuk mempertahankan bahasa dan budaya Jawa yang merupakan benteng terakhir dari kebudayaan Jawa.

Dilematika Bahasa Pengantar Majalah Dr. Soetomo atau Pak Tom nama kecil yang sering diucapkan sahabat-sahabatnya, di usianya ke 20 tahun, sudah memimpin suatu organisasi yang bernama Boedi Utomo. Organisasi Boedi Utomo bertujuan membantu mereka-mereka yang lemah dan sedikit berkembang, bukan hanya membantu dari sisi pembelajarannya saja namun juga dalam perisian atau pendanaan.

Pemuda-pemuda Boedi Utomo itu masih dalam ikatan beberapa organisasi kepemudaan dan menggunakan bahasa dari asal daerah mereka, salah satunya young ambon, young borneo, young andalas dan lainnya. Setelah dibacakan Sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 salah satunya di poin ke-3 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sejak saat itu pemuda-pemuda yang memiliki nama seperti di atas kini berubah menjadi Young Indonesia atau Pemuda Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Pada 2 September 1933 Pak Tom bersama Imam Supardi, Moh. Ali dan kawan-kawannya berkumpul untuk berembuk mengenai pembuatan majalah yang bernama Penyebar Semangat. Lantas ada yang mengusulkan menggunakan bahasa Belanda, dengan tegas Pak Tom menolaknya, karena majalah Penyebar Semangat pada saat itu ingin merebut kemerdekaan Indonesia dan sasarannya adalah masyarakat umum. Pendapat kedua menggunakan bahasa Indonesia, Pak Tom sempat menyetujui namun ketika itu bahasa Indonesia belum merakyat dan belum diresmikan.

Pendapat terakhir menggunakan bahasa Jawa, seketika berbagai pihak menolak dengan alasan bahasa Jawa bahasa yang susah karena mempunyai dua tingkatan, bahasa Jawa ngoko dan kromo. Tetapi bahasa Jawa inilah bahasa yang paling merakyat dan dikuasai rakyat, dengan demikian diputuskan menggunakan bahasa Jawa (ngoko) dalam majalah tersebut.

Mati Surinya Sang Penyebar Semangat Tongkat kepemimpinan berubah, Pak Tom menyerahkan kepemimpinan sepenuhnya kepada Imam Supardi yang dibantu Moh. Ali, sedangkan Pak Tom hanya mengawasi dari kejauhan. Tidak lama setelah itu, Pak Tom atau Dr. Soetomo wafat pada tahun 1938.

Peristiwa cukup hebat pada Maret 1942, Belanda sebagai penguasa Nusantara menyerahkan kepemimpinan kepada Jepang. Pada masa itu Jepang mengetahui keberadaan Majalah Penyebar Semangat bahkan Jepang sempat mempelajarinya. Bagi Jepang keberadaan majalah ini sangat membahayakan kolonial Jepang. Namun Jepang tidak tinggal diam, akhirnya majalah Penyebar Semangat dimatikan atau diberedel.

Jepang tidak menyatakan terang-terangan bahwa majalah ini dimatikan, tapi dengan cara tidak diperbolehkan membeli kertas, tinta dan tenaga-tenaganya pun diambil untuk menjadi Romusa. Majalah Penyebar Semangat akhirnya mati. Mati bukan berarti benar-benar mati karena Jepang. Imam Suparti beserta jajarannya optimis suatu saat majalah ini pasti akan bangkit kembali.

“Namun semua itu mungkin hanya wacana, pasalnya pada masa itu untuk mencari sesuap nasi saja sangat sulit,” tutur Bapak Wijotohardho selaku staf redaksi ketika ditemui Solidaritas. Wacana tidak terbukti, majalah Penyebar Semangat bangkit lagi dan terbit untuk kedua kalinya pada tahun 1949 sesudah Konferensi Meja Bundar (KMB) hingga sekarang.

Sehubungan dengan ini, staf redaksi majalah Penyebar Semangat mengatakan berusaha selalu konsisten dengan bahasa maupun rubrik-rubrik yang tercantum dalam majalah. Setelah beberapa kali terbit, Tim Penyebar Semangat sempat terbesit keinginan mengubah bahasa pengantar menjadi bahasa Indonesia, setelah dikaji ulang jika itu diteruskan maka selang 3 bulan setelah perubahan majalah ini akan mati kembali. Karena pelanggan majalah Penyebar Semangat sudah terlanjur suka dengan bahasa Jawa, pelanggan pun kini tersebar di seluruh Indonesia bahkan hingga luar negeri.

Mutiara Oktaviani 2014, dalam skripsinya yang berjudul Semangat Pelestarian Budaya Jawa dalam Eksistensi Media Cetak Berbahasa Jawa Penyebar Semangat, menjelaskan perihal pelanggan atau pembaca majalah Penyebar Semangat adalah rata-rata kalangan lanjut usia (lansia), kisaran usia 50 tahun ke atas yang mempunyai penghasilan tetap. Mereka masih setia membaca dengan berbagai pertimbangan antara lain motif hiburan dan motif melestarikan budaya Jawa.

Berkaitan dengan manajemen media massa, pengelolahan majalah Penyebar Semangat masih dilakukan dengan cara-cara yang tradisional dan sederhana. Semua dijalankan dengan cara kekeluargaan dan menganut adat kesatuan Jawa. Eksistensi majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat dikarenakan adanya semangat yang sama antara redaksi dan pembaca, yaitu
semangat melestarikan kebudayaan Jawa. (fin)

Post Comment