Terjebak FOMO, Gonta-Ganti Baju Lebaran Jadi Ajang Flexing
INFO RAMADAN

Terjebak FOMO, Gonta-Ganti Baju Lebaran Jadi Ajang Flexing

MediaSolidaritas.com – Setiap tahun tren mengenakan baju baru pada hari lebaran sudah menjadi tradisi yang melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Tren baju Idul Fitri selalu berganti setiap tahun, membuat masyarakat Indonesia rela mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengenakan baju baru dan serasi sekeluarga di momen hari raya Idul Fitri.

Beberapa hari sebelum lebaran tiba, banyak orang yang pergi ke toko-toko baju untuk berburu baju lebaran. Namun, tradisi membeli baju baru yang sudah melekat dalam diri masyarakat Indonesia ini justru membuat mereka menjadi FOMO. Istilah FOMO sendiri merupakan akronim dari Fear Of Missing Out yakni perilaku takut tertinggal.

Dalam hal ini, masyarakat takut tertinggal tren membeli baju baru hingga tidak memikirkan dampak boros yang mereka lakukan.

Namun, apa yang sebenarnya menjadi alasan mereka mengeluarkan banyak uang untuk membeli baju baru?

Mendalami hal tersebut, mahasiswa Sistem Informasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Ulfa Nur Lailatul Fajriah berpendapat, bahwa membeli baju baru saat lebaran adalah sebagai simbol kebersamaan sekeluarga.

“Alasannya lebih ke kebersamaan sekeluarga, dan supaya sekeluarga mengenakan pakaian yang sama (couple) selain itu, ikut pendapat orang tua juga. Dan untuk tahun ini sekeluarga sepakat untuk tidak mengikuti tren, jadi kami menggunakan baju warna biru nantinya,” ujarnya.

Ia juga berkata bahwa pengeluaran yang bisa dikeluarkan untuk membeli baju lebaran sekeluarga mencapai 200 hingga 1 juta rupiah.

“Untuk pengeluaran setiap tahun nominalnya beda-beda, ada yang awalnya 100 ribu naik jadi 200 ribu. Kalau per orang bisa 200 sampai 300 ribu, kalau sekeluarga bisa mencapai 1 juta,” ujar wanita asal Sidoarjo itu.

Adapun, Faizah Aulia Firdaus, mahasiswa Sistem Informasi Universitas Islam Sunana Ampel (UINSA) berpendapat, bahwa membeli baju lebaran juga menjadi ajang self reward setelah berpuasa sebulan penuh, dan membuatnya rela mengeluarkan banyak uang untuk membelinya.

“Saya selama setahun jarang membeli baju baru, maka dari itu saya ingin membeli baju baru sebagai self reward setelah sebulan berpuasa, dan untuk pengeluaran kalau sendiri bisa 200 sampai 300 ribu dan kalau keluarga besar tergantung model dan ukuran biasanya kembar satu keluarga itu mencapai 500 ribu,” ujar wanita berkacamata itu.

Dengan adanya FOMO tren baju lebaran ini, tak hanya berdampak dalam hal ekonomi namun juga bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang boros dan flexing. Berkenan dengan hal itu, Layla Fitrotin selaku Dosen Ma’had Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), berpendapat bahwa dampak dari kasus FOMO ini dapat berujung pada hasud dan ain.

“Selain dari sisi ekonomi yang boros, dalam Islam nanti dampaknya bisa jadi hasud (iri hati atau dengki), membuat orang-orang merasa iri, ‘Kok saya gak punya’, dan takutnya terkena penyakit ain (penyakit yang timbul karena mata orang yang hasad/iri dan dengki) juga,” ujarnya.

Wanita lulusan PIUAD itu juga menegaskan bahwa dalam Islam, tidak boleh terlalu mengharam-haramkan FOMO, jika FOMO nya berlandaskan pada kebaikan.

“Kalau hukumnya itu, sebenernya tidak boleh mengharam-haramkan juga, dan kita sebagai manusia juga tidak boleh terlalu FOMO dalam suatu hal. Jika FOMO dalam hal kebaikan, itu tidak apa-apa namun jika dalam hal yang menjerumus ke kejelekan dan kemaksiatan itu tidak boleh,” imbuhnya

Menanggapi hal tersebut, beliau berpendapat bahwa daripada melakukan hal-hal yang memicu pemborosan dan flexing, lebih baik saja menjelang lebaran orang-orang harus memperbanyak ibadah dan tidak perlu mengenakan pakaian yang baru.

“Sebaiknya memperbaiki diri, memperbanyak ibadah, dan menggunakan pakian yang ada saja. Dalam Islam, syaratnya itu menggunakan pakaian yang bagus, tapi tidak harus baru,” ujarnya.

Dengan adanya FOMO tren ini, beliau juga menegaskan kasus FOMO ini adalah hal yang kurang baik.

“Kurang baik juga,” tegas Layla

Penulis: Nadiya Putri Intan Nur Rahmadhani

Editor: Istiana Agus Saputri

Post Comment