Universitas Responsif Gender dan Realita Sosial Satgas PPKS UINSA
Sumber foto : Kemensesneg RI
OPINI

Universitas Responsif Gender dan Realita Sosial Satgas PPKS UINSA

Mediasolidaritas.som – Apa jadinya jika lembaga yang seharusnya menjadi pelindung justru dibiarkan bertahan sendirian? Apa artinya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 jika mereka yang berada di garis depan pencegahan kekerasan seksual hanya dituntut kreatif tanpa logistik?

Wawancara kami dengan salah satu Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) tingkat fakultas di UIN Sunan Ampel, Marli Candra membuka kenyataan yang jauh dari ekspektasi. Di atas kertas, Satgas PPKS dibentuk untuk mencegah, menangani, dan mengadvokasi kasus kekerasan seksual di kampus. Tapi di lapangan, yang terjadi justru serangkaian keluhan, minimnya dukungan, hingga prosedur kaderisasi yang amburadul.

Lalu, sebenarnya Satgas PPKS ini dilahirkan dari keseriusan lembaga atau hanya demi mengejar kepatuhan administrasi?

Berdasarkan riset yang telah dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa lintas jurusan, mayoritas dari mereka tidak mengetahui keberadaan Satgas PPKS di fakultas masing-masing, bahkan tidak memahami apa tugas dan peran Satgas itu sendiri. Ini bukan sekadar masalah komunikasi, tapi alarm keras bahwa keberadaan Satgas PPKS belum menyentuh realitas mahasiswa yang seharusnya mereka lindungi.

Ketika kami bertanya kepada Marli apakah program Satgas selama ini lebih cenderung bersifat seremonial, beliau tidak menampik. Bahkan mengiyakan. Sosialisasi memang pernah dilakukan, seminar, podcast, dan PBAK jadi panggung formalnya. Tapi kemudian muncul pengakuan yang mengejutkan: hampir tidak ada dukungan konkret dari kampus, baik dalam bentuk pendanaan maupun rancangan program yang sistematis lintas fakultas. Satgas tingkat fakultas diminta untuk “berkreasi”.

Tapi apakah kerja-kerja perlindungan terhadap korban kekerasan seksual bisa diserahkan pada “kreativitas”? Apakah ini festival seni atau agenda pemulihan yang membutuhkan tenaga, waktu, dan sistem?

Lebih jauh, Marli juga menyampaikan problem yang mengakar: kaderisasi yang cacat secara prosedural. Tidak ada mekanisme terbuka, tidak ada pelatihan berjenjang. Ketika ada mahasiswa yang dianggap “berpotensi”, ia langsung diangkat sebagai anggota Satgas dan dibuatkan SK. Terdengar efisien, tapi bukankah ini merusak harapan akan profesionalitas Satgas?

Bagaimana Satgas bisa dipercaya jika mereka sendiri dibentuk tanpa proses yang partisipatif, transparan, dan akuntabel?

Tugas ganda juga menjadi batu sandungan besar. Banyak anggota Satgas juga merupakan dosen tetap dengan beban akademik penuh. Tumpang tindih peran ini mengakibatkan kerja-kerja Satgas tak pernah maksimal.

“Sebagai kritikan, ngga maksimal (red, satgas PPKS) wajar saja karena kerja itu tumpang tindih. Misalnya saya sendiri sebagai sekprodi, dosen, pembimbing, saya juga diberi tugas menjadi satgas,” keluh Marli

Apakah kita akan terus berharap pada orang-orang yang harus membelah dirinya tiga arah, tanpa pengurangan beban, tanpa penghargaan, dan seringkali tanpa dukungan materiil?

Ketika kampus menempatkan Satgas sebagai lembaga pelengkap di bawah struktur LPPM dan tidak memberinya daya untuk bertindak, maka jelas sudah kekerasan seksual bukan dianggap masalah serius, tapi hanya isu musiman.

Namun tentu tak adil jika kita hanya menuding struktur. Dalam wawancara yang sama, Marli juga menyampaikan satu hal yang lebih sunyi tapi tak kalah menentukan adalah minimnya kesadaran dari civitas akademika sendiri terhadap isu kekerasan seksual. Dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswa masih banyak yang memandang isu ini sebagai hal yang “jauh dari dirinya” kecuali jika ada kasus yang mencuat dan viral.

Masih ada anggapan bahwa kekerasan seksual hanya soal “pelanggaran moral pribadi”, bukan persoalan sistemik yang harus dicegah dan ditangani bersama. Banyak mahasiswa yang bahkan belum tahu apa itu Satgas PPKS, apalagi merasa perlu mengakses atau terlibat dalam programnya. Lebih buruk lagi, tidak sedikit yang menanggapi topik kekerasan seksual dengan candaan, sinisme, atau menganggap korban sebagai pencari perhatian.

Jadi, ketika struktur lemah dan kesadaran kolektif pun rendah, Satgas PPKS ibarat berlayar tanpa arah di lautan yang tidak peduli. Dibiarkan bertahan, dan tidak jarang dipertanyakan balik kenapa tak sampai tujuan.

Padahal, Satgas tidak bisa berjalan sendirian. Mereka bukan alat penyapu bersih. Mereka memerlukan dukungan kolektif dari mahasiswa yang berani untuk speak up, dari dosen yang mau menjadi mitra, dari birokrasi yang tak sekadar ikut aturan. Pencegahan kekerasan seksual bukan hanya soal struktur, tapi juga soal budaya dan budaya tidak akan berubah jika semua orang memilih diam.

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah narasi besar yang selalu digembar-gemborkan, bahwa UINSA adalah kampus responsif gender. Tapi bagaimana bisa kita bicara responsivitas gender ketika lembaga yang paling sentral dalam pencegahan kekerasan seksual justru dibiarkan berjalan sendiri? Responsif gender seharusnya tidak hanya ditunjukkan lewat slogan atau feminisme seremonial, tapi melalui keberpihakan nyata dalam struktur, kebijakan, dan anggaran.

Hari ini kita bisa dengan mudah berkata “Kampus kami sudah punya Satgas.” Tapi apakah Satgas itu punya daya? Apakah mereka dilibatkan dalam pengambilan kebijakan? Apakah korban merasa aman melapor? Atau jangan-jangan, kita semua hanya sedang menjaga wajah kampus, bukan menjamin keselamatan civitas akademikanya?

Satgas PPKS bukan lembaga sukarela. Mereka seharusnya menjadi bagian penting dalam sistem kampus yang sehat dan responsif gender. Tapi selama mereka dibiarkan berjalan sendiri, dituntut kreatif tanpa logistik, ditunjuk tanpa kaderisasi, dan menjalankan tugas rangkap tanpa penghargaan maka yang terjadi bukan perlindungan, tapi pelemahan.

Penulis : Ahmad Muharrik Al-birra
Editor : Dewi Aisyah Alya

Post Comment