MediaSolidaritas.com – Taman Bungkul menjadi salah satu tempat yang populer di kalangan warga Surabaya sekadar melepas penat dan biasanya dijadikan area Car Free Day (CFD). Taman yang berlokasi di Darmo, Surabaya ini ternyata memiliki asal-usul nama “Bungkul”.
Pemberian nama “Bungkul” di ambil dari nama salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam menyebarkan agama islam di Surabaya dan sekitarnya, yakni Sunan Bungkul atau Ki Ageng Bungkul. Beliau juga kerap kali dipanggil dengan Mbah Bungkul
Tak lengkap rasanya berkunjung ke Taman Bungkul tanpa berkunjung ke wisata religi yang ada area taman itu. Lokasi makam Sunan Bungkul berada tepat di belakang hall utama taman.
Subakri Siswanto, selaku juru kunci dari makam Mbah Bungkul ketika diwawancarai pada Kamis (6/4) mengatakan jika masih banyak peziarah yang berkunjung, baik dari dari Surabaya, luar kota, maupun luar provinsi.
“Sekarang masih banyak yang berziarah ke makam Mbah Bungkul, pengunjung dari Kalimantan yang sering datang ke sini,” tutur pria yang akrab dipanggil Pak Sis tersebut.
Makam Mbah Bungkul ditandai dengan gapura berwarna hijau dengan desain yang masih kuno dan sederhana bertuliskan “Makam Ki Ageng Bungkul Surabaya” sebagai pintu masuk.
Ketika mulai melangkahkan kaki masuk ke area makam, terdapat musala kecil yang lurus dengan pintu masuk dan dua gazebo sebagai tempat tamu melapor sebelum masuk ke tempat makam Mbah Bungkul.
Pohon-pohon yang tumbuh di area makam yang menambah kesan rindang dan sejuk. Selain makam Mbah Bungkul, terdapat beberapa makam di sekitarnya yang mayoritas bercat putih.
Pengunjung dihimbau untuk melepas sepatu atau sandal guna menjaga kesucian dan kebersihan area makam.
Ketika sudah dekat dengan makam, akan tercium aroma wewangian bunga yang cukup menyengat. Baik makam Mbah Bungkul atau makam-makam di sekitarnya, banyak bunga yang tertabur di atasnya.
Makam Mbah Bungkul terletak di dalam sebuah cungkup dengan beberapa makam di sekitarnya yang diselimuti menggunakan kain putih.
Ada hal unik yang tertempel di tembok area makam, yakni tulisan “Dilarang meminta kecuali hanya kepada Allah SWT.” Hal ini tentunya untuk mengingatkan para peziarah untuk tidak memiliki niatan yang keliru untuk mengunjungi makam.
“Para peziarah hanya wisata religi. Mereka berdoa kepada Allah, tidak ada keperluan mistis,” jelas Pak Sis.
Salah seorang peziarah asal Balikpapan yang kebetulan sedang berkunjung, Mustofa juga mengatakan hal yang sama.
“Jika keperluan berziarah yaitu hanya untuk bersilaturahmi dan tidak memiliki keperluan mistis,” ujar pria itu.
Dalam cerita yang beredar, Mbah bungkul atau bisa disebut Empu Supo hidup di era Brawijaya V atau zaman kerajaan Majapahit. Beliau merupakan mertua dari Sunan Giri (Raden Paku) serta memiliki keahlian dalam bidang pusaka.
Meski makam tersebut diberi tulisan “Sunan Bungkul”, nyatanya Mbah Bungkul masih pra sunan.
“Mbah Bungkul bukan sunan tetapi pra sunan, berkaitan dengan sunan karena merupakan mertua dari Sunan Giri,” terang Pak Sis.
Penulis: Aiska Safna Fitri & Nabila Rizqitamodi
Editor: Alfi Damayanti & Nabila Wardah