LitDay 2017: Motivasi Hidup Stephen Hawking dalam Kegelapan
BERITA

LitDay 2017: Motivasi Hidup Stephen Hawking dalam Kegelapan

Solidaritas-uinsa.org – Hari itu, Jumat (19/5), tiga perempuan berseragam almamater berjajar di depan pintu ruangan, mempersilakan pengunjung yang berdatangan, kru Solidaritas pun salah satunya. Mereka memberikan sewadah Popcorn dan sebotol air kemasan tanggung. Gelang kertas juga dipasangkan panitia ke pergelangan pengunjung, sebagai syarat untuk masuk ke tempat acara.

Setelah membuka pintu, pengunjung akan melewati lorong yang akan habis sekitar empat langkah, kemudian sampai ke ruangan yang begitu gelap, hanya ada sorotan cahaya di depan yang membentuk sebuah gambar bergerak disertai dengan audio yang diputar. “Nomor tiket berapa, Mas? ” Tutur seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampiri. Setelah dijawab, laki-laki tersebut mengarahkan ke tempat duduk yang tak begitu di depan, dan tak begitu di belakang. Pas di tengah. Film The Theory of Everything telah di putar di Aula lantai 3 Gedung Self Access Center (SAC) UINSA yang telah disulap seperti bioskop versi acara Literature Day (LitDay) 2017.

LitDay merupakan agenda bedah film tahunan milik Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Inggris (Himapro-SI) UINSA. Lailatul Maghfiroh Qotrunnada, Ketua Panitia LitDay, menuturkan jika panitia kali ini ingin membuat tempat acara menjadi seperti bioskop pada umumnya. Sehingga pihaknya memasang kain hitam untuk menutupi celah sehingga tidak ada sedikit pun cahaya masuk.

“Semua ruangan tertutup kain hitam dengan keadaan gelap sehingga peserta hanya fokus pada layar film di depan. Konsepan tersebut dibantu divisi protokoler dan DPA, mereka membuat ruangan tersebut benar-benar gelap dan mereka menambahkan lorong dengan kain hitamnya tepat setelah pintu masuk,” tutur mahasiswi semester 2 yang kerap disapa Nada ini.

Nada menjelaskan jika pembahasan konsep ini membutuhkan waktu satu bulan. Namun penyelesaian teknis tempat acaranya hanya memakan 3 jam. “Saya benar-benar bangga dan mengapresiasi sekali dengan konsepan yang sangat luar biasa,” tuturnya.

Salah satu peserta, Irine Thalia L, mengungkapkan jika agenda LitDay 2017 ini benar-benar seperti nonton film di bioskop. “Bagus, kan itu nonton film, jadi berasa nonton di bioskop beneran, full gelap dan bikin peserta fokus ke filmnya,” ungkap perempuan yang memiliki sapaan Dora.

Motivasi Hidup Stephen Hawking

Dalam agenda LitDay 2017, Panitia memilih The Theory of Everything sebagai film yang akan dibedah bersama Mgr. Puguh Budi Susetiyo, S. Hum, Dosen Sastra Inggris UNAIR. Sumber wikipedia.org menyebutkan bahwa film ini dirilis tahun 2014, diadaptasi dari buku biografi Travelling to Infinity karya Jane Wilde Hawking mantan Istri Stephen Hawking. Stephen adalah seorang fisikawan yang lumpuh karena penyakit penemu teori Lubang Hitam dan penulis buku A Brief History of Time.

Menurut Nada, alasan memilih film tersebut karena bisa memotivasi. Berawal dari seorang Stephen yang didiagnosis terkena penyakit kelumpuhan namun tetap bisa bangkit dan akhirnya menjadi orang yang sukses. “Sehingga kemudian semua orang mengakuinya bahwa dia benar-benar orang sukses dengan keterbatasan fisiknya, sesuai tema kita “Be Worth don’t Worst”, film ini murni merupakan perspektif dari Jane,” tambahnya.

Dari sisi sastranya, Nada menjelaskan The Theory of Everything memiliki unsur yang kuat melalui penggambaran dua karakter utamanya. Jane dan Stephen. “Analisa sastra yang dibahas menitikberatkan pada dua karakter yang mewakili Revelation & Reason sebagaimana unsur yang dipelajari di Greek Myth. Jane merepresentasikan Revelation (She Believed in God, She Wins) vs Stephen merepresentasikan Reason (Logic, He Loses),” ungkap Nada, Mahasiswi Sastra Inggris angkatan 2016.

Unsur Reason ini dijelaskan dalam karakter Stephen yang mana dirinya adalah fisikawan dan reaksi ketika ia hanya pasrah menerima kenyataan umurnya hanya dua tahun. “Berbeda dengan Jane, dengan Revelation-nya, dia tetap teguh serta mau menikahi Stephen,” tutur Nada.

Ada beberapa simbol yang dikupas dalam film ini. Nada menjelaskan dalam Opening dan Closing di film mempunyai unsur yang sama. Saat Opening menampilkan Wheel-Bicycle serta saat Closing menampilkan Wheel-Chair. Hal itu diartikan jika kisah roman keduanya naik-turun.

“Jadi film ini benar-benar memotivasi, jadi kita yang sehat harus benar-benar bersyukur dan bisa memanfaatkan waktu dengan hal-hal yang baik,” pungkas Nada. (Iqb)

Post Comment