Al-Qur’an dan Indonesia
BERITA

Al-Qur’an dan Indonesia

Membingkai kembali kejayaan Islam Indonesia yang arif dalam menjaga tradisi dan kamil melalui amal Qur’ani

SURABAYA, SOLIDARITAS-UINSA.ORG —Hari Jumat (8/5) UIN Sunan Ampel Surabaya mendapat tamu istimewa dari Jakarta dan Madura. Prof. Dr. H. Nasarudin Umar, M.A. dan KH. D. Zawawi Imron hadir sebagai narasumber dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh UKM Pengembangan Tahfidhul Qur’an (UPTQ) UIN Sunan Ampel. Seminar dengan tema Al-Qur’an dan Keindonesiaan ini bertempat di Auditorium UIN Sunan Ampel dan dihadiri oleh peserta dari berbagai kampus, baik dalam maupun luar Surabaya.

Seminar yang dibuka oleh wakil rektor III ini membahas tentang Al-Qur’an dan Indonesia, bagaimana melestarikan nilai-nilai Qur’ani di Indonesia. “Negara yang paling bersahabat dengan Al-Qur’an adalah Indonesia,” ungkap Nasarudin yang masih menjabat Rektor PTIQ Jakarta. Tidak hanya itu Wakil Menteri Agama 2011-2014 ini menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak pernah diturunkan wahyu dan nabi tapi menjadi rumah bagi Al-Qur’an. Tidak seperti di tanah kelahirannya yang terkadang orang Islam Indonesia masih lebih arif dan sopan serta mencerminkan nilai-nilai Qur’ani daripada mereka yang hidup di tanah tempat turunnya kitab suci tersebut.

IMG_20150508_160157

Selain itu ia juga menyebut dengan bangga Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia yang bisa hidup berdampingan dan rukun di tengah perbedaan. Ia menegaskan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada sistem yang mengatur kehidupan manusia melainkan memuat dasar-dasar pemikiran keilmuan, oleh karenanya sistem apapun namanya selama tidak mengeksploitasi satu pihak boleh dilaksanakan selama didasarkan pada Al-Qur’an. “Tidak boleh terjadi deindonesiasi pemahaman Al-Qur’an, tetapi yang dibutuhkan adalah reindonesiasi,” tambahnya sekaligus menyangkal ajaran Islam radikal yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Narasumber pertama selesai dilanjutkan dengan pemaparan dari pak De—sapaan akrab Zawawi Imron—budayawan sekaligus tokoh masyarakat. Sebagai seorang budayawan lelaki yang terkenal dengan sajak “Celurit Emas” ini lebih tajam membahas budaya dan tradisi di Indonesia. Menurutnya budaya dahulu tidak kalah dengan budaya modern, tidak sedikit dari sajak-sajak puisi modern yang ternyata sudah termaktub ratusan tahun sebelum diungkapkan oleh sastrawan kontemporer. “Modernitas dan tradisi perlu disinergikan dan modernitas yang tidak cocok dengan keindonesiaan harus ditolak,” ungkapnya.

Demikian pula dengan Al-Qur’an ia menegaskan bahwa kitab suci tersebut tidak cukup hanya dengan dibaca namun harus diwujudkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. “Kata baru berharga kalau sudah menjadi kenyataan,” tutur lelaki asal Batang-batang Sumenep dengan logat Maduranya. Terakhir ia mengungkapkan sebagai negara maritm laut di Indonesia bukan sekadar memisahkan tapi ia yang mempersatukan orang Indonesia. (Mizan)

Post Comment