OPINI

Agama dan Negara Menjawab Dekadensi Moral Bangsa

Beberapa hari terakhir ini, kerap ditemui informasi tentang kejahatan seksual. Pemerkosaan, pencabulan, penjahat kelamin, dan kejahatan seksual lainnya menjadi momok bangsa. Tidak tanggung-tanggung, korbannya mulai dari wanita usia Taman Kanak-kanak (TK) sampai Ibu Kandungnya sendiri. Kejadian memilukan ini tentu hanya sebatas yang bisa diidentifikasi dan disorot oleh media. Dampaknya sangat mengejutkan. Membuat masyarakat geram, resah, dan khawatir jika kejadian serupa menimpa keluarga dan sanak familinya.

Hampir bersamaan, atau bahkan nyaris kebetulan. Perbuatan yang menjurus pada kejahatan seksual harus terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri berlabel agama. Terdapat pesan siaran (broadcast) di media sosial yang memberitakan seorang mahasiswi tidur dengan beberapa mahasiswa di salah satu fasilitas kampus tersebut. Baru bisa tertangkap basah oleh petugas kemanan setelah salat subuh. Entah kabar ini hanya rumor yang sengaja dibuat, atau memang realitas, mengingat sumber yang dicatut pada broadcast tersebut adalah pegawai kampus yang kapasitasnya diakui (sebut saja Dekan).

Dari fenomena kejahatan seksual dan pergaulan bebas di lingkungan pendidikan di atas membuat kita bertanya, siapa yang harus disalahkan? Masing-masing individu, keluarga, tenaga pendidik, sekolah, kampus, negara atau agama? Tentu jawaban yang muncul bervariasi. Namun, pada ranah ini bukan bermaksud menyalahkan, tapi mencoba mencari sisi vital penyebab perbuatan biadab ini terjadi. Sehingga untuk pemecahan masalah (problem solving) mudah dilakukan sebagai solusi fundamental. Jika kita ingin rumput tidak tumbuh lagi di tempat yang sama tentu dengan mencabut sampai ke akar-akarnya. Demikian pun pada masalah ini, jika penyelesaiannya tidak bisa sampai pada persoalan mendasar penyebab problem ini terjadi maka akan muncul masalah serupa di tempat lain. Bahkan dikhawatirkan intensitasnya jauh lebih parah dari sebelumnya.

Masalah ini adalah bagian dari dekadensi moral suatu bangsa, dan siapun pasti setuju dengan asumsi demikian. Untuk itulah, kategorisasi bangsa berarti mencakup masalah dalam skala nasional. Tentunya tidak ada otoritas apapun kecuali negara dan pemerintahannya yang seharusnya mengatasi masalah demikian. Sebagai upaya dan tanggung jawab pemerintah, memang sudah ada tindakan. Mulai dari mempersepsikan masalah ini sebagai sebuah ancaman bagi negara, kemudian menindak dan memberikan sanksi bagi pelaku perbuatan tidak senonoh ini. Namun muncul pertanyaan lagi, apakah sudah selesai di sana? Tentu tidak. Upaya pemerintah seharusnya harus komprehensif dan betul-betul totalitas. Tidak tanggung-tanggung dalam menyelesaikannya.

Pemicu utama dari tindakan kejahatan seksual adalah pergaulan bebas, dan pergaulan bebas dipicu oleh lingkungan dan pendidikan. Inilah gurita faktor yang sangat berkaitan satu sama lain, dan sudah seharusnya pemerintah bertindak dengan gencar memperbaiki sistem pendidikan dengan doktrin moral dan agama. Untuk mencapai tujuan terciptanya masyarakat yang bermoral melalui pendidikan tentu tidaklah sederhana dan membutuhkan waktu yang lama. Setidaknya terdapat usaha optimal dari pemerintah untuk membangun tujuan tersebut. Inilah otoritas negara yang mampu menciptakan sistem pendidikan yang baik, lingkungan yang tidak hanya bersih tapi juga sehat dan bermoral, hukum yang tegas bagi pelaku kejahatan seksual,  institusi pendidikan yang seharusnya mampu menginternalisasikan moral sebagai upaya pembangunan kesadaran kognitif, afektif, dan psikomotorik secara baik.

Selain otoritas negara, pun diperlukan otoritas agama untuk mengatur perilaku manusia dari sisi moral. Tidak ada agama yang membolehkan tindakan kejahatan seksual dan pergaulan bebas. Bahkan dalam Agama Islam pergaulan bebas diklaim sebagai perilaku mendekati zinah dan haram untuk dilakukan. Untuk itulah islam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Mereka diharamkan bercampur-baur satu sama lain sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi pergaulan bebas yang mengarah pada tindakan tidak senonoh seperti pemerkosaan. Bahkan perempuan diharuskan untuk berpenampilan baik, sopan, dan menutup aurat sebagai upaya melindungi tubuh agar tidak terlihat eksotis dan erotis di mata laki-laki.

Bukan bermaksud sensitif dan fanatik keagamaan. Hanya saja ingin menunjukkan bahwa agama menjadi pondasi urgen seseorang berperilaku sesuai norma, dan negara berposisi sebagai pemegang otoritas atas aturan dan hukum yang dibuatnya. Sehingga tidaklah etis jika keduanya harus dipisahkan satu sama lain (sekularisasi). Padahal keduanya sudah terkonstruk sebagai sebuah sistem. Jika salah satu elemen dari sistem tersebut bermasalah, maka elemen sistem yang lain juga ikut bermasalah. Implikasinya pada kehidupan manusia itu sendiri.  Sebagai sebuah ungkapan, realistis kiranya korelasi negara dan agama   bahwa “Agama dan negara merupakan dua saudara kembar. Agama adalah pondasi sedangkan kekuasaan (negara) adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi, pasti akan runtuh. Sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.” (Hujjatu Al-Islam, Imam Al-Ghazali).

Menarik kesimpulan yang berlainan atas dua kutub yang berbeda antara negara dan agama adalah jalan keluar (way out) untuk memperbaiki moral dan perilaku bangsa. Negara membuat sistem pendidikan, mengatur lingkungan, mengkonsepsikan hukum dan sangsinya. Dari setiap fungsi negara yang dimaksud, nilai-nilai agama harus melebur menjadi satu menciptakan sebuah kesadaran atas diri manusia agar terhindar dari pergaulan bebas. Maka, tindakan tidak senonoh pun sulit untuk tersentuh.

Akh. Rifqi Ghufron Firdaus

Akademisi Filsafat Politik Islam UIN SA Surabaya

Post Comment