Moh. Mizan Asrori*
Salah satu kebutuhan penting dalam proses komunikasi manusia saat ini adalah internet. Jika zaman dulu, orang hanya bisa menghubungi orang lain dengan sms dan telepon, tidak zaman sekarang. Beberapa tahun terakhir, menjamurnya aplikasi android yang berfungsi sebagai alat komunikasi, sudah mulai digandrungi orang banyak. Sebut saja WhatsApp (WA), puluhan grup dalam satu telepon genggam tercipta dengan beragam karakter dalam aplikasi ini, tujuannya satu, komunikasi. Meski diakui atau tidak, keberadaan aplikasi-aplikasi tersebut telah menggerus budaya bertamu dan silaturrahmi, namun memang sudah sulit dihindari. Orang tidak lagi butuh melakukan perjalanan puluhan kilometer ‘hanya’ untuk mengundang temannya dalam acara bancakan. Cukup mengirim pesan WA, undangan sudah tersampaikan.
Nah, kebutuhan internet ini bisa tercukupi dengan beragam cara; membeli paketan, baik berbentuk voucher atau kartu perdana. Bisa juga dengan mencari lokasi-lokasi strategis yang biasa dijadikan tempat ngumpul, sebab di sana kemungkinan besar ada satu makhluk bernama wireless fidelity (wifi) yang sering diincar mahasiswa. Kegemaran memburu wifi ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang punya paketan minim atau sedang tanggal tua dan dompet sekarat. Mahasiswa yang beruang (memiliki uang) juga girang manakala handphone smart-nya (yang lebih smart ketimbang pemiliknya) tiba-tiba tersambung dengan wifi.
Kejadian tersebut, tiba-tiba tersambung dengan wifi, saya alami saat berada di sebuah perguruan tinggi ternama di Jawa Timur. Tanpa password dan tanpa tedeng aling-aling, wifi tersebut menyusup ke dalam hp saya yang kala itu masih belum terlalu canggih, tapi sudah bisa mengirim pesan WA. Pernah juga di suatu kampus lain saya tersentak, sebab sinyal wifi-nya sangat banter. Tapi ketika disambungkan, sang wifi menuntut saya meng-input Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan password. Tentu karena saya bukan termasuk bagian dari kampus tersebut maka tidak bisa ikut menikmatinya.
Kemudian apa kabar dengan UINSA? calon World Class University ini tentu juga tidak mungkin ketinggalan dengan perkembangan terkini. Perpustakaan yang sudah terakreditasi A dan memiliki koleksi digital sudah barang tentu menuntut untuk bisa diakses oleh banyak orang, terutama mahasiswanya sendiri. Ditambah perkembangan website UINSA, uinsby.ac.id, yang cukup siginfikan dibandingkan kampus lain. Apalagi baru-baru ini, tidak sampai lima tahunan, website UINSA mendapatkan prestasi yang cukup prestisius, bersaing dengan kampus-kampus luar. Dalam jurnal juga demikian, JIIS yang sudah terindeks Scopus menandakan UINSA ikut berkembang dalam dunia maya, tidak hanya dunia nyata saja.
Lalu seperti apa fasilitas untuk mengakses koleksi digital dan berselancar di dunia maya yang disediakan pihak kampus? Ketika menjadi UIN, kebetulan saya sudah tercatat sebagai mahasiswa di kampus ini, akses untuk wifi masih sangat terbatas. Kampus ini memiliki titik tertentu di mana mahasiswa bisa menikmati internet gratis tanpa dipungut biaya. Tidak di semua fakultas dan tidak di semua tempat. Di fakultas saya sendiri, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, kala itu cukup banyak sinyal-sinyal wifi yang begitu menggiurkan. Tapi sayang mereka hanya bisa diakses oleh sedikit kalangan.
Dari sekian banyak akun wifi yang tersedia, salah satunya bernama ruang dosen…… (untuk tidak menyebut nama fakultas). Saat itu saya hanya bergumam, betapa enaknya ya jika bisa tersambung. Namanya juga mahasiswa jelata, tidak banyak yang bisa saya perbuat selain berkhayal suatu saat bisa menikmati wifi tersebut tanpa pungutan liar (pungli), seperti yang terjadi di pintu gerbang UINSA saat PKK-MB tempo dulu.
Keinginan ini lambat laun tersampaikan juga kepada orang atas (istilah yang biasa digunakan orang Madura untuk menyebut pemerintah) di kampus ini. Saat itu, saya yang masih polos bertanya, bagaimana dengan keberadaan wifi yang ada di setiap fakultas pak? Bapak yang saya tanyakan pun menjawab bahwa itu kebijakan masing-masing fakultas, jika diajukan dan memang dibutuhkan maka akan kami tindaklanjuti. Kala itu saya masih cukup belia, sekitar semester dua, sok-sok ikut terlibat dalam penerbitan koran kampus yang sedang membahas fasilitas.
Cukup lama menanti, pucuk dicinta ulam pun tiba, wifi kampus akhirnya menjamur. Banyak titik-titik yang sebelumnya tidak terjamah makhluk ‘antik’ ini sekarang sudah mulai ada. Kualitasnya cukup bagus dan bisa dijadikan alternatif saat paketan minim atau kuota sekarat. Apalagi untuk mengaksesnya mahasiswa tidak perlu ‘repot’ memasukkan NIM dan password. Cukup dengan bertanya (karena memang tidak ada sosialisasi khusus mengenai password wifi) kepada teman mahasiswa yang sedang nongkrong, kita sudah bisa berselancar gratis di dunia maya. Uniknya, rata-rata password wifi di kampus 117 ini diawali dengan nama fakultas dan berakhiran ‘sajalah’, contohnya tarbiyahsajalah untuk wifi di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.
Meski tidak semuanya, namun mayoritas begitu adanya. Sampai-sampai kata ‘sajalah’ ini menjadi guyonan ala mahasiswa UINSA, terutama teman-teman saya di grup angkatan. Saat mampir ke suatu tempat dan di sana ada wifi, mereka (seolah) berebut menjawab pertanyaan “Password wifi-nya apa mas?” ……sajalah (sambil tertawa geli). Semoga ini tidak tergolong pada kategori penistaan wifi yang berakibat laporan atau delik aduan.
Secara kualitas, penulis menilai fasilitas wifi yang ada sudah hampir cukup memuaskan, dengan syarat ada perbaikan pada sistemnya. Bukan apa-apa, agar mahasiswa bisa lebih sering menggunakan akun NIM dan password-nya, tidak hanya melulu saat mengakses siakad untuk mengecek nilai atau melakukan KRS-an. Juga supaya lebih sedikit elegan sebagai kampus bertaraf internasional nantinya. Sehingga mahasiswa Fakultas Adab tidak perlu sungkan bertanya password wifi kepada mahasiswa Dakwah saat bertamu ke fakultasnya, karena NIM dan password sudah ada di genggamannya.
*) Penikmat wifi yang sedang berproses di Rumah Solidaritas Divisi Penerbitan.