Warung Kang Bejo
SASTRA

Warung Kang Bejo

Oleh : Fathur M Rohman*

Selain kemiskinan, rokok dan kopi adalah hal yang sudah sejak lama akrab dengan kehidupan masryarakat. Kopi terutama, selalu menjadi penghuni tetap dari dapur ke dapur. Beras dan lauk mungkin hanya tersedia untuk sehari, dan esoknya perlu mengais lagi, tetapi kopi harus selalu ada dan memang akan selalu ada. Mulai kopi siap saji atau kopi bubuk oplos jagung, biji kopi sangrai atau biji kopi mentah kering siap sangrai. Apapun jenisnya.

Bukan karena filosofinya menjadi bagian dari masyarakat, karena toh filosofi menurutku, hanya masalah pendapat dan sudut pandang. Maafkan jika pun aku salah, tetapi kopi menjadi bagian lekat dari kehidupan masyarakat, terutama di hampir seluruh pelosok Indoensia, karena ia teman yang menyenangkan.

Ia bisa diseduh menyambut pagi, disesap sambil memeras keringat di siang hari, menjadi kawan menghabiskan sisa sore hari, atau ketika perlu terjaga di malam hari. Hanya dengan menyesapnya saja, sudah membuat hari yang terlewati menjadi lebih sempurna. Setidaknya lebih bisa diterima meski penuh dengan duka dan derita, misalnya.

Malam ditengah ribuan titik air yang terus mengucur dari langit, di bawah atap bangunan semi permanen dari batang-batang bambu yang berdiri di ujung pertigaan menuju masjid desa, kopi pun menjadi pilihan menikmati malam berhias gerimis. Mengambil tempat di kursi panjang depan meja, tempat berbagai makanan dan jajanan tertata rapi, aku duduk membelakangi hujan. Secangkir kopi telah tersedia di hadapan. Lengkap beralaskan lepek dan tutup plastik.

Di sudut lain warung empat orang duduk berkumpul mengelilingi meja, sembari bercakap, bercanda, diskusi, juga berdebat. Masing-masing ditemani secangkir kopi sebagai penghangat. Berbatang-batang rokok juga terus memproduksi asap di sana, menguapkan setiap penat, masalah dan kebuntuan yang membatu di kepala mereka.

Macam-macam saja yang menjadi bahan percakapan mereka. Mulai hujan yang semakin jarang menyambang. Maklum, memasuki September musim sudah berpindah kemarau. Satu alasan lain, kenapa mereka begitu bahagia menyambut hujan malam ini. Belaian dari langit yang sudah tiga minggu tak kunjung datang.

Hasil pertandingan kualifikasi piala dunia antara Itali dan Spanyol pun tak luput dari perbincangan. Eloknya permainan Spanyol menggulung pertahanan Italia yang terus menua, memunculkan lapuk-lapuk di sana-sini. Cantiknya permainan penari-penari lapangan ala Spanyol, bernas, lugas dan kerasnya permainan pasukan biru Itali juga gol-gol dan prakiraan, juga ramalan jalan nasib negara-negara adidaya sepak bola itu.

Mereka serius berdiskusi mengenai isu kemanusiaan yang menimpa muslim Rohingya, kejamnya pemerintah dan militer Myanmar, heroik dan militannya kelompok-kelompok muslim yang terus berkoar di media dan menyusun aksi solidaritas bersama. Tentu semuanya diulas dan didiskusikan dari sudut pandang mereka. Orang-orang desa yang hatinya masih peka dan belum ditumpulkan logika dan kepentingan dunia.

Meski lebih tepat jika disebut debat warung kopi dari pada debat kusir karena kusir sudah berganti menjadi sopir. Dan menurutku, bukankah itu sah-sah saja? Mereka juga memiliki hak untuk berkomentar, mengulas, memberi pendapat berdasar hati nurani. Karena pengamat bukan hanya profesi milik akademisi.

Lha yo to, seng perang Myanmar, kok demo-ne nak Borobudur? Lak yo gak nyambung to, Kang!” Protes si lelaki berpeci hitam dan berkalung sarung yang duduk menghadap jalan memulai percakapan.**

“Iku kan mung simbol to Kang, Intine nolak pembantaian muslim ning Myanmar. Kerono wonge Budho, yo nak Borobudur. Pokoke gak dirusak, lak yo gak popo, tho.” Timpal pria yang duduk di kanannya.

“Wayahe nak aksi solidaritas, demone nak Myanmar. Greget.” Bantahnya lagi tak mau kalah.

“Lha opo sampean wani, ye nak dibudalno mrono?” Sahut lelaki yang duduk tepat di hadapannya, membelakangi jalan.

“Yo ora. Lha sesok wayahe manjing. Digoleki juragan, mengko.” Jawab lelaki berpeci hitam itu cepat.

Sontak, gelak tawa membahana dari keempat orang itu. Diiringi ritmis dari rintik gerimis. Aku turut tertawa lirih setelah menyimak, atau lebih tepatnya menguping percakapan mereka yang polos dan naif. Begitu apa adanya, tanpa ingin terlihat akademis atau lebih pintar dari yang lain-lain.

Terkadang menjadi pendengar dan mengikuti cara berpikir orang-orang desa yang masih memelihara hati, bisa menjadi penawar untuk hidup yang semakin keras dan penuh perdebatan salah-benar, pendukung-pembenci.

Atau bisa juga dengan sesekali membuat prediksi tanpa pretensi dan menjadikannya taruhan. Seperti yang dilakukan keempat pria paruh baya yang duduk mengelilingi meja itu, menjadikan kegiatan aksi solidaritas sebagai bahan taruhan. Apakah akan berhasil mengajak ribuan orang atau tidak. Hadiah taruhan tak perlu megah. Cukup secangkir kopi atau sebungkus rokok, atau keduanya bagi penebak yang benar. Seolah hidup dan segala isinya menjadi begitu mudah dan ringan bagi mereka, laiknya sebuah taruhan.

Senyum atau tawa kecil dariku, tak jarang ikut mengiringi percakapan mereka. Tentu saja secara diam dan pelan. Tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir kopi yang masih belum lagi kusentuh. Uap putih menari-nari di atas permukaan kopi itu. Menandakan kondisi suhunya yang belum banyak turun. Mungkin, dua tiga menit lagi akan lebih bersahabat bagi bibirku untuk menyesap.

Keplaku tetap menunduk. Tatapanku tertuju. Tetapi pikiranku buyar. Hatiku ambyar. Sebagai pelampiasan, aku hanya bisa menunduk. Menekuni cangkir itu dengan tatapan penuh prasangka. Seolah timbul kekhawatiran, cangkir itu akan lari jika mataku terlena sedikit saja. Mungkin cangkir itu ringkuh terus kupandangi. Hanya saja aku tak berharap ia berubah pucat seputih susu. Atau menjadi asin bercampur keringat sendiri.

Seandainya hanya dengan saling menatap mata, semua pesan bisa tersampaikan, Sengkarut perasaan bisa terdistribusikan. Pasti cangkir kopi penuh isi itu akan mengerti gelisah hatiku malam ini. Bukankah mata adalah jendela hati? Tetapi sayang ia cacat, karena tak juga ditemukan letak sengsel pembukanya. Sehingga sebagai jendela, ia hanya menerima cahaya, tak mampu memberi, walau sebatas lambaian tangan agar yang lain memahami.

Aku masih menunduk dan tak berpikir ada hal lain yang lebih menenangkan dari itu, ketika seorang laki-laki muncul dari belakang. Ia menegambil duduk di sampingku. Sebelah kanan. Baru ia melangkahkan kaki kanannya melewati kursi, menunggu langkah kaki kiri yang akan menyusul, tetapi kemudian berhenti. Di posisi mengangkangi kursi, dengan badan sedikit dicondongkan ke belakang, ia menatapku dengan kedua mata terpicing. Sekira empat detik. Kemudian melangkahkan kaki kirinya yang tertinggal dan duduk di kananku.

Lelaki itu tertawa kecil usai puas menancapkan pandangannya padaku. Berbunyi lima kali kata ‘ha’. Dan aku, mengikuti tawanya dengan mata tak berpindah dari kopi.

“Kopi satu, Kang Bejo. Sama seperti punya pria penggelisah di samping saya ini, ya.” Teriak lelaki itu ke Kang Bejo, pemilik warung.

Entah siapa nama aslinya. Sejak masa yang bisa kuingat, mungkin dua puluh tahun lalu ketika aku berusia lima tahun, ia sudah dipanggil Bejo. Awalnya, kukira itu memang nama lahir yang diwariskan orang tuanya. Tetapi kemudian, ketika aku sedikit lebih bertambah usia, beberapa orang di warung bercerita bahwa Bejo bukanlah nama aslinya. Tetapi tak satupun tahu untuk bisa menyebutnya.

Entah sejak kapan tepatnya ia dipanggil Bejo. Meski bukan nama asli, tetapi belum pernah aku menemukan seseorang memanggilnya dengan nama lain. Mungkin Kang Bejo seperti juga banyak orang lainnya, sudah mulai melupakan siapa nama aslinya.

Kang Bejo, juga mungkin lebih mengingat selera racikan kopi para pelanggannya yang menyentuh angka ratusan, dari pada sederet huruf nama depannya sendiri yang diberikan orang tuanya berdekade lalu. Orang mungkin baru akan merasa perlu mengingat nama aslinya ketika ia nanti meninggal. Menimbulkan perselisihan, prakiraan dan berbagai terkaan permainan ingatan mengenai sebuah atau dau buah atau tiga buah kata yang menjadi nama aslinya dulu.

Satu, dua orang mungkin mengingatnya samar, tetapi tak pernah merasa yakin dengan ingatan mereka. Sebuah usaha masal yang secara otomatis dilakukan secara serempak untuk menemukan sebuah nama yang pernah hadir, eksis dan hidup sebelum tergusur oleh sebuah kata berbunyi Bejo. Sebab, tak elok kiranya menulis atau menyebut nama Bejo di nisan makam atau ketika mengirimkan doa-doa untuk arwah peracik kopi kesayangan, yang juga menyayangi mereka itu.

Penyesalan demi penyesalan akan mulai hadir kembali, beriring dengan tangis dan suasana melankolis. Sebuah penyesalan yang timbul dari kesadaran betapa mereka telah menimbun sebutir berlian ingatan berupa nama asli Bejo, di tengah jutaan sampah ingatan yang tak lagi mudah ditemukan. Memiliki ingatan atau memori, meski tertimbun dalam lupa, itupun kurasai sudah menjadi kenikmatan bagi mereka. Karena sialnya, aku tak pernah sekalipun punya kesempatan untuk mengetahui apalagi menyimpan, nama asli Kang Bejo.

Terlebih lagi, ia tak punya selembar pun berkas yang mendokumentasikan namanya. Tidak KTP, tidak akta kelahiran, tidak pula KK. Alasan yang juga membuatnya tetap lajang hingga sekarang. Di usia yang mulai menjejakkan angka 4 di bagian depannya. Sebab tak ada pernikahan tanpa berkas kelahiran. Orang dihitung lewat catatan, bukan kehadiran. Mereka yang lahir, hidup, makan, minum, bertai, bukan manusia setidaknya secara formal-legal atas nama warga, jika tak punya dokumen yang menunjukkan bahwa ia manusia yang lahir di sebuah kota, di tahun, bulan dan tanggal tertentu.

“Mau sampai kapan kau terus melamun? Itu kopi diminum, bukan diajak kontemplasi,” sergah lelaki yang duduk di sampingku.

“Kopimu pun belum kau sentuh, bukan?” Balasku.

“Ha-ha-ha, aku tentu tak bisa melangkahi orang yang lebih dulu memesan.” Dan kami berdua tertawa. Kang Bejo yang berdiri di balik meja pun ikut tertawa.

Ia selalu ingat kopi kesukaanku. Bahkan ketika aku sudah lama tak berkunjung dan tak lagi banyak orang yang memesan kopi yang biasa kunikmati. “Cokot ya Mas?” sergah Kang Bejo, setiap kali aku datang ke warungnya. Dengan suara khas sedikit serak dan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.

Kopi itu, dihidangkan dengan cara yang berbeda. Bubuk kopi, diseduh di gelas atau cangkir. Hanya bubuk kopi, tanpa gula. Disajikan beralaskan lepek dan tutup gelas ditambah sebongkah gula. Biasanya diletakkan di lepek. Bisa gula batu, gula aren, atau gula kelapa. Aku biasanya meminta gula aren.

Kopi tersebut akrab disebut kopi cokot atau kopi gigit. Karena, untuk menikmati kopi ini, gulanya harus digigit. Caranya, gula digigit terlebih dahulu sebelum menyeruput kopi.

Hujan masih gerimis. Tanah berdebu yang sedari pagi kering, kini mulai basah. Udara dingin juga terus memaksa masuk ke sela pori. Menembus barisan rangkaian benang baju yang menjadi tembok pertahanan. Kuulurkan tangan ke meja. Menyentuh tepi gelas, menakar panas air di dalamnya. Uap panas masih terlihat menari, mesksi tinggal samar-samar.

Tangan itu kemudian mengambil bongkahan kecil gula aren yang tak sampai sekepal. Menggigitnya, menaruhnya di atas lidah seperti menyesap permen, kemudian sedikit demi sedikit meminum kopi di cangkir yang ada di depanku. Sensasi rasa pahit, manis, yang saling bertabrakan hadir silih berganti. Tak seimbang dan tak seirama. Terkadang pahit yang lebih banyak terasa, sesekali manis gula.

Orang di sampingku tersenyum. Kemudian menyesap kopi yang ada di depannya. Dengan cara yang mirip seperti yang kulakukan, sekali, dan meletakkannya lagi. Ia tertawa, kemudian berdiri. Melangkah dari tempatnya duduk melewati kursi dari arah ia datang tadi. Ia masih tertawa, tetapi semakin terbenam oleh suara rintik air yang meninju tanah. Suara itu semakin kecil dan terus mengecil.

Ku tengokkan kepala ke belakang. Ke arah ia datang dan juga pergi. Di tengah rintik hujan gerimis, masih kulihat punggungnya. Bergetar, begitupun tubuhnya. Bukan karena dingin, tetapi tanda ia masih tertawa. Suaranya tak lagi terdengar, getar tubuhnya pun semakin temaram termakan gelap.

“Ku lihat, kau terus diam sejak mengikuti pemakamannya siang tadi. Aku turut berduka cita,” suara Kang Bejo mengalir perlahan tapi pasti. Berirama sendu bernada simpati. Mengaliri hatiku yang menganga oleh luka. Perih. Aku menatap wajahnya yang berdiri di balik meja, membalasnya dengan senyum.

**

“Lha iya, yang perang Myanmar, kok demonya di Borobudur? Kan, gak nyambung ya, Kang?!” Si lelaki berpeci hitam dan berkalung sarung yang duduk menghadap jalan.

“Itu kan hanya simbol, Kang. Intinya menolak pembantaian muslim di Myanmar. Karena orangnya beragama Budha, ya di Borobudur. Asal gak dirusak, gak apa-apa.” Timpal pria yang duduk di kanannya.

“Harusnya kalau mau aksi solidaritas, demonya juga di Myanmar. Greget.” Bantahnya lagi tak mau kalah.

“Memangnya kamu berani diberangkatkan ke sana?” sahut lelaki yang duduk tepat dihadapannya, membelakangi jalan.

“Enggal, lah. Besok kan, waktunya kerja. Nanti saya dicari-cari juragan.” jawab lelaki berpeci hitam itu cepat.

 

*Cerpenis kelahiran Kabupaten Kediri

 

PENULIS

Fathur M Rohman, lahir di Kediri, 28 Februari 1994. Pernah bergiat di pers mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya. Pegiat literasi dan pengembangan desa-desa terpencil melalui Bidik Misi Bina Desa.

Email   : [email protected]

Hp       : 089527440416

 

Sumber gambar : https://pixabay.com/

Post Comment